2008/02/18

Tobat
Berbagai Kedudukan SpiritualSyeikh Abu Nashr as-SarrajAbu Ya'qub Yusuf bin Hamdan as-Susi - rahimahullah - berkata, "Kedudukan spiritual (maqam) pertama dari berbagai kedudukan spiritual yang harus ditempuh orang-orang yang mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah adalah tobat."Sementara itu as-Susi pernah ditanya tentang tobat, maka ia menjawab, "Tobat adalah kembali dari segala sesuatu yang dicela oleh ilmu (syariat) untuk menuju pada apa yang dipuji oleh ilmu."Sahl bin Abdullah ditanya tentang tobat, maka ia menjawab, "Tobat adalah hendaknya jangan melupakan dosa Anda."Tetapi al-Junaid ketika ditanya tentang tobat justru mengatakan, "Tobat adalah melupakan dosa Anda."Syekh Abu Nashr as-Sarraj -rahimahullah - menjelaskan jawaban as-Susi tentang tobat adalah dimaksudkan untuk tobatnya para "murid", orang-orang yang pada tahap mencari dan baru pada tahap awal dalam merambah jalan Allah. Dimana mereka pada suatu saat punya nilal positif, tapi kadang di saat yang lain terhadang oleh sesuatu yang merugikannya.Adapun jawaban al-Junaid, bahwa tobat adalah melupakan dosa, merupakan jawaban tobat orang-orang yang sanggup mencapai kebenaran hakiki (al-mutahaqqiqin). Dimana mereka tidak lagi mengingat dosa-dosa mereka, karena hati mereka telah dikuasai oleh Keagungan Allah swt. dan kontinuitas mengingat-Nya.Ini sebagaimana yang pernah ditanyakan pada Ruwaim bin Ahmad - rahimahullah - tentang tobat. Lalu ia menjawabnya, "Tobat adalah tobat dari tobat."Sebagaimana Dzun Nun al Mishri - rahimahullah - ketika ditanya tentang tobat, maka ia menjawab, "Tobatnya orang-orang awam adalah tobat dari dosa, sedangkan tobatnya orang-orang khusus (khawas) adalah tobat dari kelalaian mereka untuk mengingat Allah."Adapun bahasa ungkapan orang-orang ahli ma'rifat, mereka yang sanggup menghayati al-Haq dan orang-orang kelas paling khusus (khawashul-khawash) dalam mengungkapkan makna tobat adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Abu al-Husain an-Nuri -rahimahullah - ketika ditanya tentang tobat. Dimana ia mengatakan, "Tobat ialah hendaknya Anda bertobat dari segala sesuatu selain Allah."Dan inilah yang dilsyaratkan oleh Dzun-Nun al-Mishri bahwa, "Dosa-dosa kaum yang didekatkan dengan Allah (al-muqarrabin) adalah kebaikan orang-orang yang banyak berbuat baik (al-abrar)." Sebagaimana juga dikatakan bahwa, "Riya' (pamer)nya orang-orang arif adalah tingkat keikhlasan para 'murid' (pemula)." Sebab keikhlasan para murid adalah suatu tingkatan yang digunakan untuk mendekatkan diri orang yang arif kepada Allah di saat memulai dan menuju kepada-Nya dengan cara melakukan ketaatan, Ketika semua itu memungkinkan, dan sanggup merealisasikannya, lalu dipenuhi oleh sinar-sinar hidayah, diberikan perhatian dan perlindungan-Nya, sanggup menyaksikan Keagungan Tuannya dengan mata hatinya, merenungkan ciptaan Sang Penciptanya, mendahulukan kebaikannya, maka ia akan bertobat untuk tidak melihat dan memperhatikan pada ketaatan, kebaikan, amal-amal dan pendekatan diri kepada Tuhannya ketika mau dan akan memulainya. Maka dengan demikian ada dua tipe hamba yang bertobat, dimana masing-masing berbeda dengan yang lain: Pertama, orang yang bertobat dari segala dosa dan kesalahan. Sedangkan yang kedua adalah orang yang bertobat dari ketergelinciran dan kelalaian, dan bertobat dari melihat kebaikan dan ketaatan yang ia lakukan. Sehingga tobat akan mengharuskan wara' (menjaga diri dari syubhat).
Mentas dari Kejenuhan Sehari-hari
Entah, berapa ratus juta ummat menusia saat ini yang mengalami kepenatan hidup, kebosanan dan kejenuhan di tengah rutinitas sehari-hari. Lenguhan-lenguhan mereka, terdengar parau, menyembul antara batas kekecewaan, ketakutan, harapan, dan hasrat-hasrat tersembunyi yang tak tergapai.Sebegitu membosankankah dunia ini? Apakah watak dunia memang sedemikian rupa, sedemikian rumit dan sedemikian bermasalah? Atau yang terjadi sebaliknya, masyarakat mulai tumpul hatinya, mulai mencari sisi-sisi lain yang di luar zaman dan ruang wilayah yang selama ini digeluti?Coba kita tengok sejenak, ketika seorang pembantu rumah tangga kita begitu setia. Ia bangun pagi, sholat subuh sebelum kita sholat subuh, membersihkan rumah, lantai, dapur dan menyiapkan sarapan pagi kita. Sebegitu setia mereka berbuat, sebegitu tulus mereka bekerja.Tiba-tiba mulai muncul kejenuhan sebagai pembantu, karena mereka sedang berangan-angan, entah kapan menjadi juragan seperti tuannya. Padahal Allah memberi nilai bagus kepada pembantu itu, pada kesetiaan dan ketulusannya.Seorang guru di sekolah, setiap hari mengajar para murid di sekolah, tiba-tiba berangan-angan, kenapa bertahun-tahun jadi guru nasibnya juga tidak berubah? Apakah ia tidak ingat ketika berjuang agar diterima menjadi guru ketika awal perjalanan karirnya dimulai? Padahal Allah sedang menilai keikhlasannya menularkan ilmu pengetahuan kepada ummat manusia.Seorang professional sedang giat-giatnya bekerja keras, lalu karirnya mencapai puncak yang diimpikan. Begitu sampai pada tahap puncak, ia mempertanyakan diri sendiri, apa yang sebenarnya saya cari selama ini? Kenapa kebahagiaan sejati tak kunjung tiba, dan kepuasan memburu materi dan karir juga tak henti-henti menggodanya? Ia kesepian, lalu diam-diam ia terlempar dalam kejenuhan sehari-harinya. Lalu dimana penilaian Allah terhadap perjalanan hidupnya selama ini? Pada kerja kerasnya? Ambisinya? Atau suksesnya selama ini?Seorang ibu rumah tangga mulai jenuh sebagai ibu bagi anak-anaknya dan isteri bagi suaminya. Ironis sekali! Kerumitan dan problema, nafas dan keringat bertahun-tahun yang keluar dari dalam tubuhnya, diingatnya sebagai "nasib" yang belum menguntungkan. Lalu muncul alas an-alasan, "Kalau bukan karena anak-anak…Kalau bukan karena ini dan itu….Kalau bukan karena takut dosa… Kenapa bertahun-tahun begini dan begitu saja….? dll…." Kejenuhan yang muncul ketika mereka mulai kehilangan rasa syukur kepada Allah. Nikmat-nikmat Allah tertutup oleh sekadar kekecewaan atas sandungan masalah, problem besar dan kecil saat itu, lalu dinilai telah menghapus seluruh nikmat Ilahi.Lalu seorang janda dan seorang duda, seorang lajang mengejar impian kehangatan berumah tangga. Begitu berumah tangga, ingatan masa lalu muncul, lalu kejengkelan, trauma, luka demi luka muncul kembali, sampai di titik jenuh ia mengeluh, "Alangkah nikmatnya dulu, ketika aku masih sendiri…begitu bebas terbang kesana kemari…."Seorang politisi, tiba-tiba frustrasi. Ia diganjal teman sendiri, lalu menghela nafas dalam-dalam, sambil mengungkit-ungkit prestasi perjuangannya selama ini. Politisi lain yang menanjak mulai meraup kemakmuran uang rakyat, tapi di hati kecilnya ada panggilan nurani, bahwa apa yang dilakukannya selama ini adalah dosa. Ia jenuh pula jadi politisi, yang hidup tanpa makna, tanpa rasa juang yang benar-benar berurai keringat, darah dan airmata….Benar-benar memikul amanah penderitaan rakyat. Kadang ia bermimpi menjadi rakyat biasa..Tapi tak siap juga…Seorang aktivis gerakan Islam ikut-ikutan jenuh. Karena pandangan ideology ke-Islamannya selama ini bukan malah membuat dirinya bercahaya dan damai, tetapi telah melemparkan kegersangan spiritual. Semula ia bangga menjadi aktivis, merasa menjadi pejuang, merasa menjadi hero Islam, kenayataan jiwanya kerontang bagai nyaringnya tong yang bertalu-talu. Kemanakah jiwa mereka selama ini? Kemanakah Allah yang selama ini mereka bela dan mereka sebut-sebut? Kesalahan besar macam apakah yang menimpa mereka?Kini bertanyalah pada sejumlah Kyai atau Ulama, sebagaian pun, amboi mulai muncul kebosanan dirinya. Bertahun-tahun mereka mengajar santri, masyarakat, ummat, toh bibir-bibir mereka jika ditimbang dengan kiloan berat, sudah menebal dan melebar berkilo-kilo, toh perilaku yang diajar belum juga berubah. Lalu iming-iming politis mencoba jadi hiburannhya. Para Ulama dan Kyai ikut terlibat politik Pilkada, ikut ramai-ramai bikin partai, dan yang ditemukan malah sejumlah tumpukan sampah dalam jiwanya. Sangat-sangat memuakkan dan membosankan. Godaan, ujian, harapan duniawi, dan kerinduan dekat kepada Allah bercampur baur dalam remang-remang spiritualnya. Ini bukan sekadar kejenuhan, tetapi tumpukan buku dan kitab yang telah menjadi sampah busuk digotong kemana-mana sebagai fatwa. Entahlah…..Apalagi pesantrennya sudah kehilangan barokah. Alumninya tidak lagi menelorkan para Ulama, para santrinya juga sudah mulai kehilangan induk ruhani dan bapak spiritual. Wallahu A'lam, apa yang terjadi, kenapa sebegitu degradatifnya dunia Ulama ini, hingga bukan sekadar Ulama dan Kyainya yang mengamami kebosanan dan kejenuhan, ummat pun terkadang mulai muak memandang dan mengikutinya.Seorang Kyai Khowas, diam-diam menertawai diri sendiri. Ia malu di depan cermin, karena sempat protes kepada Allah, "Ya Allah, enaknya jadi orang biasa saja, tidak terbebani tanggungjawab ruhani seberat ini… Enaknya jadi orang biasa saja…..". Ia jenuh, bosan, tapi juga tertawa….Anda juga mengalami kejenuhan? Apakah anda juga masuk dalam sebuah konser musik yang dipenuhi dengan keluhan demi keluhan? Berapa kali sehari ini tadi anda menhela nafas dalam-dalam untuk mengeluarkan kejenuhan anda? Berapa kali anda berdecak untuk sekadar kontra terhadap takdir Allah kepada anda hari ini?"Betapa sedikit kalian bersyukur…." Begitu Allah menjawab semua keluhan dari berjuta-juta hambaNya.Ilustrasi tersebut akan semakin berderet panjang, bergumul satu dengan lainnya, bersinggungan antara masa lalu, masa kini dan impian masa depan.Lihatlah Ke Depan….Manusia modern, pada umumnya mengandalkan diri sendiri, mengandalkan prestasi dan kemampuan diri, mengandalkan amaliyahnya dalam soal ruhani dan spiritualnya, mengandalkan nama besar dan masa lalunya. Begitu berbuat salah, ia terpuruk dalam pesimisme terhadap rahmat Allah, dan bahkan harapannya kepada Allah surut seketika, karena kesalahan dan dosa dianggapnya sebagai ancaman terbesar atas kecelakaan dunia akhiratnya.Ia seperti terancam masa depannya, rizkinya, pengkabulan doanya, bahkan merasa terancam ketika kesalahan dan dosanya diketahui oleh sesama. Inil semua gara-gara mereka lebih suka mengatur Tuhannya dibanding diatur oleh Allah. Ia lebih memilih seleranya dibanding Kehendak Allah. Mereka lebih bergembira jika sukses itu sebagai bentuk keridloan Allah, dan gagal itu sebagai takdir ketidak relaan Allah padanya. Mereka bahkan menganggap ambisinya sama dengan kehendak Allah.Kepenatan dan kejenuhan sebenarnya sekadar jedah psikhologis dari masa lampau ke masa kini, lalu harapan di depan terasa hambar. Jika manusia mengenal masa depannya yang hakiki, kejenuhan itu akan berubah menjadi gairah yang luar biasa. Jika anda tidak mampu memandang secara hakiki tentang masa depan yang abadi, Allah Robbul Izzah, maka pandanglah janji-janjiNya di akhirat. Jika janji-janjiNya di akhirat belum meyakinkan dirimu, renungkanlah nikmat-nikmat di kubur kelak. Jika itu masih belum membuka hati anda, maka lihatlah sisa usia anda saat ini, optimislah karena anda masih ditakdirkan sebagai orang yang beriman kepadaNya.Seorang guru di sekolah akan semakin penat jiwanya, manakala hanya memandang kepentingan profesinya, dalam batas waktu sampai pensiun. Mestinya ia mulai melihat betapa tanggungjawab membawa anak didik mereka ke masa depan, bukan hanya di dunia ini, tapi masa depan anak-anak itu sampai ke akhirat, bahkan sampai di hadapan Allah Ta'ala.Kaum professional akan semakin terseret dalam mimpi buruknya manakala yang tercetak di otaknya hanya sukses, sukses, sukses dengan ambisinya yang maniak. Impian dan ambisi itu toh ditimbang sama dengan rasa kecewa, frustrasi dan kegagalan. Semestinya ia mulai mengembangkan senyum dari bibir hatinya bahwa bekerja sesuai dengan keahliannya itu merupakan amanah Ilahi, dan Allah menilainya dalam rasa yakin, rasa ikhlas, rasa syukur dibalik gairah kerjanya itu. Allah sama sekali tidak menilai sukses dan gagalnya pekerjaan itu. Ambisi dan nafsu akan semakin membuat seseorang menjadi egois, sementara, semangat dengan rasa yakin pada Allah akan melahirkan rasa syukur dan keindahan kerja.Seorang ibu rumah tangga akan terbebas dari kebosanan dan kepenatan kalau ia melihat bahwa kemuliaannya justru terletak pada kasih sayangnya kepada anak-anak dan suaminya, kesabaran dan kerelaannya menjadi induk dari sebuah generasi yang bercahaya di akhirat kelak."Ibunda yang mulia," adalah kalimat paling indah yang tak bisa dinilai oleh kesenangan-kesenangan sejenak atau harapan-harapan semu lainnya. Ibunda adalah pelabuhan sekaligus menghantar ke samudera.Kaum politisi akan terbebas dari penjara siasat liciknya di dunia politik, manakala ia memiliki keberanian moral merubah dirinya sebagai pejuang, bukan sebagai politisi. Sebagai mujahid, bukan sebagai penguasa wilayah, pemegang kekuatan apa pun. Apakah anda pernah mimpi sebagai syuhada' selama menjadi politisi?Seorang Kyai, Ulama dan Ustadz, akan merobohkan dinding penghalang jiwanya dengan Allah, manakala hatinya paling dalam digali, dan disana ada mutiara terpendam, bahwa dirinya ternyata harus menjadi Ulama Billah (Ulamanya Allah, Ulama yang mengenal Allah, Ulama yang menghayati pengethauan tentang Allah), bukan ulama dunia, bukan pula ulama penguasa, ulama massa, ulama publik, ulama pop, ulama seleb, atau ulama yang memanfaatkan nafsu keulamaannya.Orang jenuh karena ingin bebas dari belenggu. Kebebasan itu akan diraihnya manakala ia merasa sama sekali tidak bebas. Karena Allah tidak menzolimi hambaNya, juga tidak menginginkan hambaNya terbelenggu di dunia. Raihlah kebebasan yang hakiki.Syeikh Ad-Daqqaq pernah mengatakan "Kebebasan berarti bahwa si hamba bebas dari belenggu sesama makhluk; kekuasaan makhluk tidak berlaku atas dirinya. Tanda absahnya kebebasan adalah, bahwa tersingkirnya pembedaan tentang segala hal dalam hatinya, sehingga semua gejala duniawi sama di hadapannya." "Orang yang datang ke dunia ini dalam keadaan bebas darinya, akan berangkat ke akhirat dalam keadaan bebas Pula." Dalam sebuah ucapannya Pula, "Orang yang hidup di dunia dalam keadaan bebas dari dunia, akan bebas pula dari akhirat.""Ketahuilah bahwa hakikat kebebasan diperoleh dari kesempurnaan ubudiyah, sebab jika ubudiyahnya benar, maka kebebasannya dari belenggu akan sempurna. Mengenai mereka yang mengkhayalkan bahwa ada waktu dimana seseorang boleh melepaskan ibadat dan berpaling dari hukum yang tersirat dalam perintah dan larangan Allah swt, sementara dirinya dalam keadaan mukallaf, maka tindakan itu keluar dari agama.Haritsah r.a. mengatakan kepada Rasulullah saw, "Saya telah menjauhi dunia. Batu dan emas yang ada di bumi tidak ada bedanya bagi saya."Allah swt. berfirman kepada Rasulullah saw.: “Beribadatlah kepada Tuhanmu hingga datang kepadamu keyakinan." (Q.s. Al-Hijr: 99).Para ahli tafsir sepakat bahwa "keyakinan" di sini berarti "saat kematian".Manakala Para Sufi berbicara tentang kebebasan, yang mereka maksud adalah, bahwa si hamba tidak berada di bawah perbudakan oleh sesama makhluk ataupun diperbudak oleh perubahan keadaan kehidupan duniawi ataupun ukhrawi; ia akan menunggalkan diri kepada Allah Yang Esa. Tidak sesuatu pun yang memperbudaknya, baik perkara duniawi yang bersifat sementara, pencarian kepuasan hawa nafsu, keinginan, permintaan, niat, kebutuhan ataupun ambisi.Asy-Syibly pernah ditanya, "Tidak tahukah Anda bahwa Allah Maha Penyayang?" Beliau menjawab, "Tentu. Tapi, karena aku telah tahu bahwa Dia Maha Penyayang, maka aku tidak pernah meminta kepada-Nya agar menyayangiku. Dan maqam kebebasan sungguhlah mulia."Rasanya hanya ada dua kata yang bisa merubah kejenuhan, ketakutan, krisis psikhologis menjadi sebuah harapan agung: Harapan bertemu Allah, dan berharap Allah. Harapan bertemu Allah melalui amaliyah, ibadah, baik syariah maupun haqiaah, dzohid dan batin, dengan cara yang saleh dan keikhlasan hanya bagi Allah. Keikhlasan sejati, tanpa berhala di sekitar Ka'bah hati kita.Sedangkan harapan kepada Allah, adalah wujud dari perjalanan kita menapaki jejak-jejak Rasulullah SAW, meneladani lahir dan batinnya dalam wilayah Uswatun Hasanahnya.Dua kalimat ini juga mengakumulasi seluruh pembebasan kita. Disebutkan oleh Ibbnu Athaillah as-Sakandari dalam Al-Hikam:"Janganlah engkau berjuang memaksa diri terhadap hal-hal yang sudah dijamin Allah. Dan janganlah engkau meremehkan hal-hal yang diwajibkan Allah kepadamu…."Anda masih jenuh?
Urusan Allah Jangan Bercampur Nafsu
Mengikuti Pengajian Syeikh Abdul Qadir al-Jilany Ahad Pagi tanggal 14 Dzul Hijjah tahun 545Jangan kau campuri urusan-urusan Allah Azza wa-Jalla dan ilmuNya, dengan nafsumu, kesenangan seleramu dan watakmu. Takutlah padaNya bagimu dan bagi yang lain. Sebagian Ulama Sufi menegaskan. "Berselaraslah dengan Allah Azza wa-Jalla dalam urusan makhluk, jangan kalian berselaras dengan selera makhluk di dalam urusan Allah."Hancurlah orang-orang yang hancur dan terhimpitlah orang-orang yang memaksa dirinya. Belajarlah kepada orang-orang yang saleh yang berselaras dengan Allah perihal keselarasan ini.Ilmu pengetahuan itu untuk diamalkan, bukan untuk dihafal sebagai teori, bukan sekadar untuk disampaikan kepada sesama. Anda berpengetahuan, lalu amalkan ilmumu, baru kemudian sampaikan kepada yang lain.Bila anda meraih ilmu lalu anda amalkan, maka ilmu akan bicara tentang dirimu. Bila anda diam, anda bicara dengan perilaku, lebih banyak dibanding bicara dengan lisan. Sampai seorang Sufi mengatakan, "Siapa yang tidak memberikan manfaat padamu maka tidak akan memberikan manfaat pula nasehatnya."Orang yang mengamalkan ilmunya akan bermanfaat melalui ilmunya, baginya dan bagi yang lainnya. Sebab Allah Azza wa-Jalla memberikan ucapan kepadaku sesuai yang dikehendakiNya menurut kadar kondisi kehadirannya di sisiku. Jika tidak begitu, maka akan terjadi kontradiksi antara diriku dengan dirimu. Harga diriku dan hartaku untukmu, dan aku tidak memiliki kepentingan apa pun. Jika ada sesuatu bagiku, sama sekali aku tidak melarang kalian dari milikku. Antara diriku dengan kalian tidak lebih dari sebuah nasehat Lillahi Ta'ala, bukan untuk diriku. Karena itu berselaraslah dengan kepastian takdir, kalau tidak nanti malah membuatmu menderita. Berjalanlah bersamaNya menurut pilihanNya, jika tidak pergilah. Jadilah kalian ini dalam barokah di hadapanNya hingga Dia memberikan kasih sayang padamu dan menyilakan dirimu.Awal perjalanan kaum sufi adalah bekerja menurut kadar kebutuhannya secara syar'y. kecuali mereka lemah dan tak mampu bekerja, mereka hanya tawakkal, dan mengokohkan hatinya dan mengikat gerak fisiknya, lalu bagian-bagian duniawinya datang secukupnya tanpa ia sibuk.Salah satu dari kaum Muqarrobun (yang sangat dekat dengan Allah) di akhirat kelak berjubah dengan kenikmatan syurgawi tanpa ia kehendaki sama sekali. Namun justru Allah menjubahi mereka dengan keselarasanNya sebagaimana mereka memakai jubah keselarasan itu di dunia. Allah memenuhi bagian dunia dan akhirat, karena Allah sama sekali tidak pernah menzalimi hambaNya.Anak-anakku sekalian…. Menurut kadar kebutuhanmulah engkau diberi. Karena itu jauhilah selain Allah Azza wa-Jalla dari hatimu, hingga kalian sangat dekat denganNya. Matikan dirimu dari dirimu, dan dari makhluk, maka Allah membukakan hijab antara dirimu dengan Tuhanmu. Ada yang bertanya, "Bagaimana aku harus mati?" Matikan dirimu dari mengikuti nafsumu, kesenanganmu, watak dan kebiasaanmu dan mengikuti selera populer makhluk, sejumlah pekerjaan dan harapan mereka. Tinggalkan kemusyrikan hati dengan meninggalkan mereka dari hatimu, meninggalkan sesuatu selain mencari Allah swt.Jadikan seluruh amaliahmu untuk Wajah Allah Azza wa-Jalla, bukan dalam rangka mencari nikmat-nikmatNya. Ridlolah dengan urusan yang diaturNya untukmu, ketentuan dan tindakanNya. Kalau anda sudah berbuat demikian berarti anda sudah mati diri dirimu, dan anda hidup bersamaNya. Hatimu telah menjadi tempatNya, Dia akan membolak-balik hatimu sesuai dengan kehendakNya sampai di dekat Ka'bah Taqarrub padaNya, bergantung pada kain penutupnya, terus mengingatNya dan melupakan selain DiriNya.Kunci syurga itu Laa Ilaaha Illallah Muhammadur Rasuulullah. Sekarang, esok, anda dengan kefanaan anda dari diri anda dan dari seluruh makhluk yang ada dengan tetap menjaga aturan syariat. Kedekatan dengan Allah adalah syurga kaum Sufi. Dan jauhnya mereka dari Allah adalah neraka mereka. Mereka tidak berharap kecuali syurga kedekatan, dan tidak takut kecuali jauhnya dari neraka taqarrub. Maksudnya mereka merasa terbelenggu dengan neraka kejauhan taqarrub ini sampai mereka sangat takut.Disanalah anda meminta pertolongan kepada sesama kaum beriman, tetapi malah anda lari dari mereka. Bagaimana tidak? Anda lari dari para pecinta yang sangat ikhlas?Betapa indah perilaku kaum mu'minin di dunia dan diakhirat, ketika di dunia tidak peduli dengan kondisi apa pun setelah mengetahui bahwa Tuhannya Rela kepadaNya, seberapa pun bagian yang diberikan oleh Allah kepadanya. Kemanapun mereka menghadap maka ia memandangnya dengan Cahaya Allah Azza wa-Jalla, hingga tak ada sama sekali kegelapan, karena seluruh arahnya menuju kepadaNya, seluruh andalannya hanyalah Dia, seluruh kepasrahannya hanya bagiNya. Karena itulah hati-hati, dari mencederai orang yang beriman, karena tindakan itu merupakan racun dalam jasad yang menyakitkan yang bisa menyebabkan kefakiran dan siksaan.
Tingkatan-tingkatan Spiritual Hati (Bagian 2)
Oleh: Dr. Javad Nurbakhsy3. Tempat cinta untuk makhIukTempat cinta bagi makhluk (syaghaf) merupakan sumber kebajikan yang penuh kasih sayang, cinta dan kasih sayang bagi wujud makhluk, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat Al-Qur'an, "Sesungguhnya dia (Yusuf) telah menundukkan hatinya dengan cinta yang sangat mendalam" (XII: 30), cinta pada makhIuk adalah bagian utama dari kasih sayang bagi makhluk ciptaan (syaghaf). Isma'il Haqqi Brusawi, seorang ahli tafsir Al-Qur'an, Ruh al-Bayan, telah mengubah urutan konvensional berkenaan dengan cinta bagi makhluk dan pandangan, menganggapnya sebagai tingkatan spiritual hati yang keempat dan ketiga.Tingkatan ketiga adalah pandangan yang merupakan tempat penyaksian (musyahadah) kepada Allah, sebagaimana diperlihatkan dalam ayat Al-Qur'an: "Hati tidak mendustakan apa yang dilihatnya." (LIII: 11). Tingkatan keempat adalah cinta bagi makhluk, yang menyelubungi perhentian jiwa kasih sayang ('isyaq), sebagaimana diperlihatkan dalam ayat: "Sesungguhnya dia (Yusuf) telah menundukkan hatinya (Zulaikha) dengan cinta, yang sangat mendalam." (XII: 30).Apabila Tuhan Sang Penguasa Dunia ingin menarik binatang buruan yang terikat pada tali jerat keagungan ke dalam jalan agama, Dia pertama kali akan memberikan pemahaman penglihatan ke dalam dada binatang buruan itu untuk membersihkannya dari hasrat dan alat (bid'ah) dan menyusun langkah-langkahnya menuju ke jalan kebiasaan (sunnah). Kemudian Dia memberikan pernahaman penglihatan ke dalam hati binatang buruan itu untuk membersihkannya dari keduniaan dan dari karakter-karakter tercela, seperti sombong, iri hati, angkuh, munafik, tamak, dendam dan kesembronoan, yang kemudian mengarahkannya kepada jalan kebenaran. Kemudian Dia memberikan pemahaman penglihatan ke dalam pandangan binatang buruan itu, yang memutuskan hubungannya dari makhluk dan semua yang berasal darinya, membuka pandangan pengetahuan dan hikmah dalam hati, dan menjadikan cahaya petunjuk dari Tuhan sebagai anugerah istimewa. Al-Qur'an menyatakan bahwa "dia mendapatkan cahaya dari Tuhannya." (XXXIX: 22). Kemudian Allah memberikan pemahaman penglihatan cinta terhadap makhluk kepada binatang-binatang buruan itu, yang memutuskannya dari sifat kebendaan dan menyusun langkahnya pada jalan kefanaan diri. 4. Tempat pandanganTingkatan spiritual hati yang keempat disebut tempat pandangan yang merupakan sumber penyaksian (musyahadah) dan tempat penglihatan (ru'yat), sebagaimana diperlihatkan dalam Al-Qur'an: "Hati tidak mendustakan apa yang dilihatnya." (LIII: 11). Telah dikatakan bahwa tempat pandangan adalah seperti bintik gelap pada pupil mata, yang merupakan tempat hikmah dan fokus penglihatan. Tempat pandangan berada di pusat hati, sebagaimana hati berada pada pusat dada atau sanubari.Dia tidak menyadaribahwa tanpa perubahan oleh Allah,Akal dan tempat pandangan dalam hatiakan mati.Penglihatan yang murni (ru'yat) terpisah dari tempat pandangan yang terjadi setelah terangkatnya tabir tabir yang menutup, perkembangan jiwa dan setelah seseorang menaiki jenjang perkembangan jiwa menuju pada kedekatan (dengan Allah). Menurut Al-Qur'an: "Hati tidak mendustakan apa yang dilihatnya." (LIII: 11).Rasulullah bersabda, "Aku mampu memandang Tuhanku."Kaum Sufi berkata, "Tempat pandangan dalam hati merenungkan Esensi, tidak terbagi." 5. Tempat kasih sayang AllahTempat kasih sayang Allah (habbatu al qalb) merupakan sumber semua kebajikan yang penuh kasih sayang (mahabbah) dari tempat Ketuhanan (uluhiyah), yang merupakan bagian penting bagi mereka yang benar-benar terpilih, dan yang tidak dapat berisi kasih sayang apa pun dari makhluk.6. Pusat HatiPusat hati (suwaida) merupakan sumber penyingkapan pandangan (mukasyafah) dari Kegaiban dan Pengetahuan Ketuhanan ('ilm ladunni), dan juga merupakan sumber hikmah, tempat persemayaman Rahasia rahasia Ketuhanan, dan tempat pengetahuan Nama-Nama Allah, sebagaimana diperlihatkan dalam ayat Al-Qur'an, "Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama." (II: 30). Di dalamnya terlihat berbagai jenis, pengetahuan yang tidak dimiliki para malaikat. 7. Pusat Hati yang paling dalamPusat hati yang paling dalam (mahjatu al qalb) merupakan sumber cahaya sifat-sifat Ketuhanan (uluhiyah). Rahasia dari "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam" (XVIL : 70) adalah bahwa jenis, kemuliaan (karamah) tersebut tidak pernah dianugerahkan kepada makhluk yang lain mana pun. Beberapa syeikh Sufi tertentu menganggap bahwa berbagai spiritual hati terdiri dari empat bagian, yaitu: dada (shadr), hati dalarn pengertian yang sebenarnya, tempat pandangan dan tempat penyaksian Allah (lubb). Mereka mengatakan bagian penyaksian Allah adalah sumber ketaatan terhadap Keesaan Allah (tauhid), sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an, "Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang memiliki kasih sayang dari Allah." (XXXIX: 21). Mereka menambahkan bahwa tempat kasih sayang Allah terdapat di dalam tempat pandangan sebagaimana cahaya pandangan terletak di dalam mata.Hati memiliki lima lapisan, yaitu dada atau sanubari sebagai tempat Islam dijanjikan; hati itu sendiri sebagai tempat cahaya keimanan; tempat pandangan sebagai tempat perhatian Allah; kesadaran yang dalam (sirr) sebagai tempat bersemayam ketulusan; dan tempat kasih sayang makhluk sebagai tempat maqam Cinta.
Ma’rifat, Sifat-sifat Orang Arif dan Hakikatnya
Pengajian Syeikh Abu Nashr as-Sarraj"Abu Said al Kharraz rahimahullah pernah ditanya tentang ma'rifat. Lalu ia menjawab, "Ma'rifat itu datang lewat dua sisi: Pertama, dari anugerah Kedermawanan Allah langsung, dan kedua, dari mengerahkan segala kemampuan atau yang lebih dikenal sebagai usaha (kasab) seorang hamba."Sementara itu Abu Turab an-Nakhsyabi - rahimahullah - ditanya tentang sifat orang yang arif, lalu ia menjawab, "Orang arif adalah orang yang tidak terkotori oleh apa saja, sementara segala sesuatu akan menjadi jernih karenanya."Ahmad bin 'Atha' - rahimahullah - berkata, "Ma'rifat itu ada dua: Ma'rifat al-Haq dan ma'rifat hakikat. Adapun ma'rifat al-Haq adalah ma'rifat (mengetahui) Wahdaniyyah-Nya melalui Nama-nama dan Sifat-sifat yang ditampakkan pada makhluk-Nya. Sedangkan ma'rifat hakikat, tak ada jalan untuk menuju ke sana. Sebab tidak memungkinkannya Sifat Shamadiyyah (Keabadian dan Tempat ketergantungan makhluk)-Nya, dan mengaktualisasikan Rububiyyah (Ketuhanan)-Nya. Karena Allah telah berfirman:"Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi (memahami secara detail) Ilmu-Nya"." (Q.s. Thaha: 110).Syekh Abu Nashr as-Sarraj - rahimahullah - menjelaskan: Makna ucapan Ahmad bin'Atha', "Tak ada jalan menuju ke sana," yakni ma'rifat (mengetahui) secara hakiki. Sebab Allah telah menampakkan Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya kepada makhluk-Nya, dimana Dia tahu bahwa itulah kadar kemampuan mereka. Sebab untuk tahu dan ma'rifat secara hakiki tidak akan mampu dilakukan oleh makhluk. Bahkan hanya sebesar atom pun dari ma'rifat-Nya tidak akan sanggup dicapai oleh makhluk. Sebab alam dengan apa yang ada di dalamnya akan lenyap ketika bagian terkecil dari awal apa yang muncul dari Kekuasaan Keagungan-Nya. Lalu siapa yang sanggup ma'rifat (mengetahui) Dzat Yang salah satu dari Sifat-sifat-Nya sebagaimana itu?Oleh karenanya ada orang berkata, "Tak ada selain Dia yang sanggup mengetahui-Nya, dan tak ada yang sanggup mencintai-Nya selain Dia sendiri. Sebab Kemahaagungan dan Keabadian (ash-Shamadiyyah) tak mungkin dapat dipahami secara detail. Allah swt. berfirman:"Dan mereka tidak mengetahui apa apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya"." (Q.s. al-Baqarah: 255).Sejalan dengan makna ini, ada riwayat dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. yang pernah berkata, "Mahasuci Dzat Yang tidak membuka jalan untuk ma'rifat-Nya kecuali dengan menjadikan seseorang tidak sanggup mengetahui-Nya."Asy-Syibli - rahimahullah - pernah ditanya, "Kapan seorang arif berada dalam tempat kesaksian al-Haq?"Ia menjawab, "Tatkala Dzat Yang menyaksikan tampak, dan bukti-bukti fenomena alam yang menjadi saksi telah fana' (sirna) indera dan perasaan pun menjadi hilang.""Apa awal dari masalah ini dan apa pula akhirnya?"Ia menjawab, "Awalnya adalah ma'rifat dan ujungnya adalah mentauhidkan-Nya."Ia melanjutkan, "Salah satu dari tanda ma'rifat adalah melihat dirinya berada dalam 'Genggaman' Dzat Yang Mahaagung, dan segala perlakuan Kekuasaan Allah berlangsung menguasai dirinya. Dan ciri lain dari ma'rifat adalah rasa cinta (al-Mahabbah). Sebab orang yang ma'rifat dengan-Nya tentu akan mencintai-Nya."Abu Nazid Thaifur bin Isa al-Bisthami - rahimahullah - pernah ditanya tentang sifat orang arif, lalu ia menjawab, "Warna air itu sangat dipengaruhi oleh warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Jika air itu anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna putih maka anda akan menduganya berwarna putih. Jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna hitam, maka Anda akan menduganya berwarna hitam. Dan demikian pula jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna kuning dan merah, ia akan selalu diubah oleh berbagai kondisi. Sementara itu yang mengendalikan berbagai kondisi spiritual adalah Dzat Yang memiliki dan menguasainya."Syekh Abu Nashr as-Sarraj - rahimahullah - menjelaskannya: Artinya, - hanya Allah Yang Mahatahu - bahwa kadar kejernihan air itu akan sangat bergantung pada sifat dan warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Akan tetapi warna benda yang ditempatinya tidak akan pernah berhasil mengubah kejernihan dan kondisi asli air itu. Orang yang melihatnya mungkin mengira, bahwa air itu berwarna putih atau hitam, padahal air yang ada di dalam tempat tersebut tetap satu makna yang sesuai dengan aslinya. Demikian pula orang yang arif dan sifatnya ketika "bersama" Allah Azza wa jalla dalam segala hal yang diubah oleh berbagai kondisi spiritual, maka rahasia hati nuraninya "bersama" Allah adalah dalam satu makna.Al-junaid - rahimahullah - pernah ditanya tentang rasionalitas orang-orang arif (al-'arifin). Kemudian ia menjawab, "Mereka lenyap dari kungkungan sifat-sifat yang diberikan oleh orang-orang yang memberi sifat."Sebagian dari para tokoh Sufi ditanya tentang ma'rifat. Lalu ia menjawab, "Adalah kemampuan hati nurani untuk melihat kelembutan-kelembutan apa yang diberitahukan-Nya, karena ia telah menauhidkan-Nya."Al-Junaid - rahimahullah - ditanya, "Wahai Abu al-Qasim, (nama lain dari panggilan al-junaid, pent.). apa kebutuhan orang-orang arif kepada Allah?"Ia menjawab, "Kebutuhan mereka kepada-Nya adalah perlindungan dan pemeliharaan-Nya pada mereka."Muhammad bin al-Mufadhdhal as-Samarqandi - rahimahullah - berkata, "Akan tetapi mereka tidak membutuhkan apa-apa dan tidak ingin memilih apa pun. Sebab tanpa membutuhkan dan memilih, mereka telah memperoleh apa yang semestinya mereka peroleh. Karena apa yang bisa dilakukan orang-orang arif adalah berkat Dzat Yang mewujudkan mereka, kekal dan fananya juga berkat Dzat Yang mewujudkannya."Muhammad bin al-Mufadhdhal juga pernah ditanya, " Apa yang dibutuhkan orang-orang arif?"Ia menjawabnya, "Mereka membutuhkan moral (akhlak) yang dengannya semua kebaikan bisa sempurna, dan ketika moral tersebut hilang, maka segala kejelekan akan menjadi jelek seluruhnya. Akhlak itu adalah istiqamah."Yahya bin Mu'adz - rahimahullah - ditanya tentang sifat orang arif, maka ia menjawab, "Ia bisa masuk di kalangan orang banyak, namun ia terpisah dengan mereka."Dalam kesempatan lain ia ditanya lagi tentang orang yang arif, maka ia menjawab, "Ialah seorang hamba yang ada (di tengah-tengah orang banyak) lalu ia terpisah dengan mereka."Abu al-Husain an-Nuri - rahimahullah - ditanya, "Bagaimana Dia tidak bisa dipahami dengan akal, sementara Dia tidak dapat diketahui kecuali dengan akal"Ia menjawab, "Bagaimana sesuatu yang memiliki batas bisa memahami Dzat Yang tanpa batas, atau bagaimana sesuatu yang memiliki kekurangan bisa memahami Dzat Yang tidak memiliki kekurangan dan cacat sama sekali, atau bagaimana seorang bisa membayangkan kondisi bagaimana terhadap Dzat Yang membuat kemampuan imajinasi itu sendiri, atau bagaimana orang bisa menentukan 'di mana' terhadap Dzat Yang menentukan ruang dan tempat itu sendiri. Demikian pula Yang menjadikan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir, sehingga Dia disebut Yang Pertama dan Terakhir. Andaikan Dia tidak mengawalkan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir tentu tidak bisa diketahui mana yang pertama dan mana yang terakhir."Kemudian ia melanjutkannya, "Al-Azzaliyyah pada hakikatnya hanyalah al-Abadiyyah (Keabadian), di mana antara keduanya tidak ada pembatas apa pun. Sebagaimana Awwaliyyah (awal) adalah juga Akhiriyyah (akhir) dan akhir adalah juga awal. Demikian pula lahir dan batin, hanya saja suatu saat Dia menghilangkan Anda dan suatu saat menghadirkan Anda dengan tujuan untuk memperbarui kelezatan dan melihat penghambaan ('ubudiyyah). Sebab orang yang mengetahui-Nya melalui penciptaan makhluk-Nya, ia tidak akan mengetahui-Nya secara langsung. Sebab penciptaan makhluk-Nya berada dalam makna firman-Nya, 'Kun' (wujudlah). Sementara mengetahui secara langsung adalah menampakkan kehormatan, dan sama sekali tidak ada kerendahan."Saya (Syekh Abu Nashr as Sarrai) katakan: Makna dan ucapan an-Nuri, "mengetahui-Nya secara langsung," ialah langsung dengan yakin dan kesaksian hati nurani akan hakikat-hakikat keimanan tentang hal-hal yang gaib.Syekh Abu Nashr as-Sarraj - rahimahullah - melanjutkan penjelasannya: Makna dari apa yang diisyaratkan tersebut - hanya Allah Yang Mahatahu - bahwa menentukan dengan waktu dan perubahan itu tidak layak bagi Allah swt. Maka Dia terhadap apa yang telah terjadi sama seperti pada apa yang bakal terjadi. Pada apa yang telah Dia firmankan sama seperti pada apa yang bakal Dia firmankan. Sesuatu yang dekat menurut Dia sama seperti yang jauh, begitu sebaliknya, sesuatu yang jauh sama seperti yang dekat. Sedangkan perbedaan hanya akan terjadi bagi makhluk dari sudut penciptaan dan corak dalam masalah dekat dan jauh, benci dan senang (ridha), yang semua itu adalah sifat makhluk, dan bukan salah satu dari Sifat-sifat al-Haq swt. - dan hanya Allah Yang Mahatahu-.Ahmad bin Atha' - rahimahullah - pernah mengemukakan sebuah ungkapan tentang ma'rifat. Dimana hal ini konon juga diceritakan dari Abu Bakar al-Wasithi. Akan tetapi yang benar adalah ungkapan Ahmad bin 'Atha', "Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya (tidak ada nilai-nilai Ketuhanan). Sedangkan segala Sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap (Tajalli)-Nya (terdapat nilai-nilai Ketuhanan). Sebab keduanya merupakan sifat yang selalu berlaku sepanjang masa, sebagaimana keduanya berlangsung sejak azali. Dimana tampak dua ciri yang berbeda pada mereka yang diterima dan mereka yang ditolak. Mereka yang diterima, benar-benar tampak bukti-bukti Tajalli-Nya pada mereka dengan sinar terangnya, sebagaimana tampak jelas bukti bukti tertutup hijab-Nya pada mereka yang tertolak dengan kegelapannya. Maka setelah itu, tidak ada manfaatnya lagi warna-warna kuning, baju lengan pendek, pakaian serba lengkap maupun pakaian-pakaian bertambal (yang hanya merupakan simbolis semata, pent.)."Saya katakan, bahwa apa yang dikemukakan oleh Ahmad bin Atha' maknanya mendekati dengan apa yang dikatakan oleh Abu Sulaiman Abdurrahman bin Ahmad ad-Darani - rahimahullah - dimana ia berkata, "Bukanlah perbuatan-perbuatan (amal) seorang hamba itu yang menjadikan-Nya senang (ridha) atau benci. Akan tetapi karena Dia ridha kepada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan (amal) orang-orang yang diridhai-Nya. Demikian pula, karena Dia benci pada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan orang-orang yang dibenci-Nya."Sedangkan makna ucapan Ahmad bin Atha', "Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya." Maksudnya adalah karena Dia berpaling dari kejelekan tersebut. Sementara ucapannya yang menyatakan, "Segala sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap (Tajalli)-Nya." Maksudnya adalah karena Dia menyambut dan menerimanya. Makna semua itu adalah sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah Hadis:Dimana Rasulullah saw. pernah keluar, sementara di tangan beliau ada dua buah Kitab: Satu kitab di tangan sebelah kanan, dan satu Kitab yang lain di tangan sebelah kiri. Kemudian beliau berkata, "Ini adalah Kitab catatan para penghuni surga lengkap dengan nama-nama mereka dan nama bapak-bapak mereka. Sementara yang ini adalah Kitab catatan para penghuni neraka lengkap dengan nama-nama mereka beserta nama bapak-bapak mereka." (H.r. Tirmidzi dari Abdullah bin Amr bin Ash. Hadist ini Hasan Shahih Gharib. Juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani, dari Ibnu Umar).Ketika Abu Bakar al-Wasithi - rahimahullah - mengenalkan dirinya kepada kaum elite Sufi, maka ia berkata, "Diri (nafsu) mereka (kaum arif telah sirna, sehingga tidak menyaksikan kegelisahan dengan menyaksikan fenomena-fenomena alam yang menjadi saksi Wujud-Nya al-Haq, sekalipun yang tampak pada mereka hanya bukti-bukti kepentingan nafsu."Demikian juga orang yang memberikan sebuah komentar tentang makna ini. Artinya - dan hanya Allah Yang Mahatahu -, "Sesungguhnya orang yang menyaksikan bukti-bukti awal pada apa yang telah ia ketahui, melalui apa yang dikenalkan Tuhan Yang disembahnya, ia tidak menyaksikan kegelisahan dengan hanya menyaksikan apa yang selain Allah (yakni fenomena alam), dan juga tidak merasa senang dengan mereka (makhluk)."
Mendermakan Harta dan Meringankan Beban Orang Lain
Pengajian Syeikh Abdul Wahab Asy-Sya’raniDiantara akhlak mereka adalah banyak berderma dan menolong saudara-saudara mereka, baik saat dalam perjalanan maupun keseharian di rumah. Dengan demikian terjadi tolong menolong dalam membela agama yang mana menjadi tujuan mereka.Dalam hadits dikatakan: "Apabila para hartawan kalian adalah orang-orang dermawan, para pemimpin kalian adalah orang-orang pilihan dan urusan kalian diselesaikan dengan musyawarah maka permukaan bumi lebih baik bagi kalian dari pada isi kandungan di dalamnya. Akan tetapi jika para pemimpin kalian adalah orang-orang jahat, para hartawan kalian adalah orang-orang kikir dan urusan kalian ada di tangan para wanita maka isi dalam bumi lebih baik dari pada permukaannya." Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki mendatangi Nabi (SAW) lalu meminta sesuatu kepada beliau. Lalu beliau memberi empat puluh ekor domba. Laki-laki itu pun kemudian kembali kepada kaumnya dan berkata: "Wahai kaumku, masuk Islamlah, sesungguhnya Muhammad memberi pemberian dengan pemberian orang yang tidak takut miskin." Husain bin Ali (ra) pernah menikahi seorang perempuan lalu mengutus bersamanya seratus budak perempuan dan masing-masing diberi uang saku seribu dirham. Abdullahh bin Umar (ra) meminta syarat kepada orang yang ingin berpergian bersamanya agar Abdullah sendiri yang membayarinya, melayaninya dan menjadi muadzin untuk Shalat selama dalam perjalanan.Aisyah (ra) pernah berkata: "Surga adalah tempat tinggal orang-orang dermawan dan neraka tempat tinggal orang-orang kikir."Abdullah bin Abbas (ra) berkata: "Tanda orang mulia adalah ubannya berada di kepala bagian depan dan demikian pula janggutnya. Sedangkan orang hina ubannya berada di belakang kepalanya dan tidak memberi manfaat kepada orang lain dengan sesuatu kecuali karena harapan atau ketakutan."Ibrahim bin Adham berkata: "Sungguh mengherankan, seorang laki-laki hina, kikir dengan dunia terhadap teman-temannya, tetapi dermawan dengan surga kepada musuh-musuhnya."Imam Syafi'i (ra) berkata "Di antara tanda orang hina adalah apabila naik ia bersikap kasar terhadap sanak kerabatnya, tidak mengakui kenalan-kenalannya, dan bersikap sombong terhadap orang terhormat dan mulia."Muhammad bin Sirin berkata: "Kami pernah menjumpai orang-orang yang suka saling memberi uang perak (dirham) di letakkan di nampan seperti buah-buahan."Yahya bin Muadz berkata "Aku heran kepada orang yang memegang harta benda sementara ia mendengar Firman Allah (SWT): "jika kamu membelanjakan harta kepada Allah (SWT) dalam bentuk pinjaman yang baik, tentu Dia akan melipat gandakan balasan-Nya kepada kamu." (at-Taghabun 17).(Saya katakan) Bilamana sebab berhentinya hamba membelanjakan harta bendanya dalam kebajikan yang diperintahkan oleh Allah (SWT) adalah karena tidak membenarkan janji-Nya berupa balasan pahala yang berlipat ganda, maka amal perbuatan apa pun tidak berguna baginya sebesar gunung sekali pun. Sebab amal itu tanpa asas.Maka patut direnungkan seandainya ada seorang manusia duduk dan dihadapannya terdapat suatu kotak besar penuh dengan uang emas, lalu berkata: "Barang siapa menyantuni seorang fakir satu dirham (mata uang perak.) maka aku akan balas memberinya satu dinar (mata uang emas)", tentu orang-orang akan berlomba-lomba memberi orang-orang fakir sedekah karena mengharap jumlah uang yang lebih banyak. Berbeda dengan seandainya ia menjanjikan pemberian dinar setelah satu tahun umpamanya maka yang tertarik barangkali hanya sedikit sekali di antara mereka, karena kurang yakin padanya. Tetapi bilamana keyakinan mereka kuat tentu akan menyambut ajakan itu. Sebab syarat kesempurnaan iman seseorang adalah meyakini apa yang dijanjikan oleh Allah (SWT) berupa hal-hal ghaib seperti halnya yang tampak. Di sinilah manusia ada yang menyambut dan ada yang tidak atas perintah Allah (SWT) sesuai dengan iman mereka. Wallahu a'alam.Abdullah bin Mas'ud (ra) pernah ditanya tentang orang berakal itu siapa? Ia menjawab: "Orang yang menyimpan hartanya di suatu tempat dimana hartanya itu tidak dimakan ulat dan tidak dicuri maling, yakni di langit." Kisra pernah berkata: "Kamu tidak memiliki hartamu, apabila kamu belanjakan maka, hartamu itu telah kamu miliki." Suatu kali seseorang masuk kota Basrah lalu bertanya: "Siapa tuan kota ini?" Ia mendapat jawaban: "Hasan Basri". Ia bertanya lagi: "Dengan apa ia menjadi tuan kota ini atas penduduknya?" Orang orang menjawab: "Karena ia tidak membutuhkan pesona dunia yang ada di tangan mereka tetapi mereka membutuhkan ilmu dan agama yang ada, padanya." Orang itu kemudian berkata: "Tidak diragukan ia adalah tuan mereka! "Allah (SWT) pernah mewahyukan kepada Musa. (as): "Sungguh Aku memberitahukan kepadamu tentang hamba-hamba Ku, perihal empat perkara yang Aku sayangkan, yaitu Aku meminjamkan kepada mereka apa-apa yang Aku berikan kepada mereka lalu mereka kikir, Aku peringatkan kepada mereka tentang iblis tetapi mereka tidak sadar, Aku mengajak mereka ke surga tetapi mereka tidak menyambutnya, dan aku menakuti mereka dengan neraka, tetapi mereka tidak takut dan tidak berusaha melakukan amal-amal ahli surga.."Seorang perempuan pernah menemui Imam Laits bin Sa'd (ra) dengan membawa bejana kecil meminta kepadanya madu seraya berkata: "Sesungguhnya suamiku sedang sakit." Lalu Imam Laits memerintahkan (keluarganya) untuk mengisi penuh. Ketika dikatakan bahwa perempuan itu hanya meminta sedikit, ia menjawab: "Ia memang meminta sesuai dengan kepantasannya dan kami memberi sesuai dengan kepantasan kami."Hasan Basri berkata: "Kamu aneh, hai anak Adam, membelanjakan untuk hawa nafsumu dengan boros tanpa pertimbangan. Sementara kamu kikir membelanjakan untuk keridhaan Tuhanmu dengan dirham. Kamu akan menyadari kedudukanmu, hai bodoh, di sisi-Nya kelak." Ia juga berkata: "Jangan sampai kamu meminta keperluan kepada orang kikir. Sesungguhnya barang siapa meminta kepadanya suatu hajat, tak ubahnya seperti orang ingin menangkap ikan dari daratan dan belantara." Al-Junaid adalah orang yang sama sekali tidak pemah menolak seseorang yang meminta kepadanya sesuatu, dan mengatakan: "Aku berusaha mengikuti akhlak Rasulullah (SAW)."(Saya katakan) Salah satu asma Allah adalah al-Mani' (yang Maha tidak Memberi) maka Dia tidak mau memberi orang yang memohon kepada-Nya sesuatu karena hikmah (rahasia yang Dia ketahui dengan ilmu-Nya yang tanpa batas) bukan karena kikir. Sebagaimana dikisahkan dari orang-orang besar bahwa mereka ketika menolak permintaan orang yang meminta adalah karena kearifan akal budinya meniru Allah (SWT). Muawiyah pemah suatu hari mengirim utusan kepada Aisyah (ra) membawa seratus ribu dirham, lalu ketika itu pula Aisyah membagi-bagikannya hingga tidak tersisa untuknya sedikit pun. Begitu juga dengan Thalhah bin Ubaidillah (ra) pernah membagikan seratus ribu dirham, sementara ia sendiri duduk menjahit ujung selendangnya yang sobek.Abdullah bin Umar (ra) berkata: "Aku tidak melihat setelah Nabi (SAW) orang yang lebih suka memberi dari pada Muawiyah (ra)". Ia bertemu dengan Hasan bin Ali (ra) lalu berkata: "Marhaban, wahai anak dari putri Rasulullah (ra)" Kemudian memerintahkan agar memberikan kepadanya tiga ratus ribu dirham. Kemudian bertemu dengan Abdullah bin Zubair (ra), lalu memerintahkan agar memberikan kepadanya seratus ribu dirham. Hammad bin Salamah setiap hari selama bulan Ramadhan mengundang orang-orang miskin untuk berbuka puasa bersamanya sebanyak lima puluh orang. Bilamana hari raya tiba ia memberi mereka masing-masing satu pakaian dan uang seratus dirham. Ia juga memberi guru ngaji anaknya setiap bulan tiga puluh dinar. Suatu saat kancing bajunya lepas lalu seorang penjahit memperbaikinya dan ia mernberi kepadanya tiga puluh dirham. Ia pernah berkata: "Seandainya bukan karena adanya orang-orang yang membutuhkan kepadaku sehingga aku dapat memberinya maka aku tidak ingin berdagang apapun." Bilamana melihat seorang perempuan cantik meminta-minta kepada orang maka ia memberinya kepingan dirham, pakaian dan berkata: "Aku lakukan ini agar ada laki-laki yang tertarik menikahinya karena khawatir kecantikannya menimbulkan fitnah."Abdullah bin Abu Bakrah (ra) memberi infaq kepada para tetangganya sebanyak empat puluh keluarga di sekelilingnya dan memberi makan berbuka puasa kepada orang-orang miskin. Ia mengirim kepada mereka daging pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Ia membebaskan setiap tahunnya seratus budak pada hari raya Idul Fitri. Abdullah bin Rabi'ah apabila dihijam (pengobatan melalui cuci darah dengan cara menyedotnya) oleh seorang hamba sahaya. Hamba itu kemudian dimerdekakannya atau dibeli dari tuannya lalu dimerdekakan. Ketika Abdullah bin Luhai'ab dikunjungi oleh Imam Laits dan ia sedang menangis, lalu ditanya: "Apa yang membuatmu menangis wahai Abdullah?" Ia menjawab: "Aku menangis karena mempunyai hutang seribu dinar." Imam Laits kemudian mengutus pembantunya untuk membawa uang agar Abdullah dapat melunasinya."Suatu ketika Abdullah bin Ja'far (ra) diundang untuk menghadiri walimah (acara pernikahan) akan tetapi tidak dapat hadir karena suatu. halangan. Kemudian ia mengirim lima ratus dinar kepada shahibul walimah dan meminta maaf kepadanya atas ketidakhadirannya. Seorang laki-laki datang menemui Said bin Ash (ra) meminta sesuatu. Lalu Said memerintahkan pembantunya memberi lima ratus. Akan tetapi pembantunya itu ragu, apakah dirham atau dinar yang dimaksud. Said lalu berkata: "Sebenamya yang aku maksud adalah dirham (uang perak), akan tetapi karena kamu ragu maka gantilah dengan dinar (uang emas)." Laki-laki itu kemudian duduk menangis. Said pun lalu bertanya heran: "Apa yang membuatmu menangis?" Ia menjawab: "Aku menangis karena orang seperti anda akan turun ke dalam bumi dan dimakan tanah!" Said bin Ubaidah (ra) berdoa dan mengucapkan: "Ya Allah, karuniakanlah hamba rizki harta yang dengannya hamba berbuat baik. Sesungguhnya hanya dengan harta hamba dapat berbuat baik! Kemudian mengatakan kata-katanya: "Aku lihat, untuk berbuat baik jiwaku rindu tetapi hartaku tidak memenuhi kerinduan itu karena kekikiranku, jiwaku tak menurutiku untuk berbuat baik, hartaku tak mengantarku. Saudaraku, pahamilah itu. Jangan sampai anda berpenampilan syaikh (kyai) tetapi berakhlak kebalikan mereka dalam kedermawanan, kemuliaan dan suka menolong. Mereka memberi banyak harta namun demikian tidak memandang diri mereka lebih dari pada orang lain. Di antara mereka bahkan ada yang memotong kain selendangnya menjadi dua dan memberikan satu potong untuk saudaranya."Abdullah bin Umar pernah ditanya: "Apa hak muslim atas muslim lainnya?" Ia menjawab: "Hendaklah ia tidak kenyang dan membiarkan saudaranya lapar, hendaklah ia tidak berpakaian dan membiarkan saudaranya tidak berpakaian, dan hendaklah tidak kikir dengan warna putih (dirham) dan kuning (dinar)."Abu Darda' (ra) berkata: "Bagaimana seseorang di antara kamu kikir dengan dirham dan dinar terhadap saudaranya padahal apabila meninggal dunia ia menangisinya?" Dikisahkan bahwa seorang sahabat Nabi (SAW) memberi hadiah kepada saudaranya. Lalu saudaranya itu menghadiahkan kembali kepada saudaranya. Hadiah itu terus dihadiahkan dari satu orang ke orang lain hingga akhirnya sampai kepada pemberi pertama. Padahal masing-masing membutuhkan hadiah itu, tetapi lebih mendahulukan saudara mereka. Bilamana di antara mereka ada yang menikah, sementara ia miskin maka tidak jarang mas kawinnya mereka yang menanggung, disamping biaya hidup satu tahun untuk membesarkan hatinya dan menjadi modal rumah tangga baru, seperti lazimnya orang yang menikah. Hasan bin Ali sama sekali tidak pernah menolak orang yang meminta. Suatu saat seorang meminta kepadanya. Lalu ia memberi sepuluh ribu dinar. Orang itu lalu berkata: "Aku tidak mempunyai tempat untuk membawanya." Hasan kemudian memberikan surbannya."Bakar bin Abdullah al-Mazni berkata: "Harta yang paling aku sukai adalah yang telah aku sampaikan kepada saudara-saudaraku dan yang paling aku tidak sukai adalah yang tinggal di belakangku.”Orang-orang shalih itu bilamana didatangi pengemis tampak gembira diwajah mereka dan menyambutnya hangat seraya berkata: "Selamat datang, hai orang yang ikut memikul beban kami menuju akhirat tanpa upah dan mengurangi sesuatu yang memalingkan kami dari ibadah kepada Tuhan kami." Di antara mereka ada yang memberikan seribu dinar kepada saudaranya seraya mengatakan: "Bagikanlah kepada, orang-orang yang membutuhkan dan janganlah dinisbahkan kepadaku." Dhihak pernah berkata, menjelaskan firman Allah: "Sesungguhnya kami melihat engkau adalah termasuk orang-orang yang suka berbuat baik." (Yusuf:36)Bahwa kebaikan Yusuf (as) adalah setiap kali ada yang sakit di penjara (bersama Yusuf) ia mengurusinya dan setiap kali ada yang berada dalam kesempitan ia memberi kelapangan. Bilamana tidak mempunyai sesuatu untuk orang fakir, Yusuf berkeliling untuk memintakan sesuatu yang dibutuhkan orang fakir kepada orang-orang. Orang-orang shalih bilamana pembantu salah seorang di antara mereka meninggal dunia maka mereka pun mengirim pembantu penggantinya. Bilamana di antara mereka ada yang mempunyai hutang, mereka segera membantu, melunasinya tanpa memberitahu kepadanya.Rabi' bin Khaitsam, Ibrahim an Nakhi dan Atha' as Sulami hidup dari hubungan dengan para saudara, dan tidak mempunyai ladang pertanian maupun peternakan atau lainnya.(Saya katakan) Diriwayatkan dari kaum salaf tentang celaan meninggalkan bekerja atau makan dari makanan orang lain berlaku terhadap orang yang mengharap, atau diberi makan karena agama mereka, atau hal sejenisnya.Dikisahkan bahwa Ibnu Muqanna diberitahukan bahwa tetangganya berniat menjual rumahnya karena dililit hutang. Lalu ia mengirim uang sebesar harga rumah itu dan berkata: "Jangan kamu jual rumahmu sebab, kami lebih banyak mengambil manfaat dari pada kamu dengan rumah itu selama kami duduk berteduh." Ibrahim At-Taimi seringkali mengumpulkan sekelompok orang miskin dan duduk bersama mereka dalam masjid." Ia berkata kepada mereka: "Beribadahlah, sementara aku senantiasa melayani dan memberi bekal kepada kalian."Maimun bin Muhran berkata: "Barang siapa mencari kerelaan saudara-saudara, tanpa berbuat kebaikan maka ia telah salah jalan." Dalam satu riwayat "Maka hubungilah ahli kubur." Amirul Mu'rninin Ali (ra) pemah berkata: "Sebaik-baik orang Muslim adalah yang menolong orang-orang Muslim dan bermanfaat bagi mereka."Nabi Isa (as) berkata: "Perbanyaklah sesuatu yang tidak dimakan api dan tidak pula tanah." Orang-orang bertanya: "Apa itu?" la menjawab: "Yaitu kebaikan, sebab meskipun kebaikan itu tidak memberi manfaat langsung orang yang mendapat kebaikan itu tidak mendatangkan kecelakaan dalam waktu dekat atau jauh.Saudaraku, camkan dalam benak Anda, dan ikutilah kata-kata orang-orang terdahulu yang shalih.
Keluarkan Dunia dari Hatimu
Mengikuti Pengajian Syeikh Abdul Qadir al-JilanyPagi, Bulan Dzul Qa’dah, 545 H. di MadrasahnyaAda yang bertanya, bagaimana caranya saya agar bisa mengeluarkan dunia dari hati saya?Caranya? lihatlah bagaimana mondar-mandirnya, problematisnya dunia melalui para pecinta dunia dan generasi duniawi, bagaimana dunia membuat mereka terpedaya dan terekayasa, membuat mereka alpa dan menyeret mereka di belakang dunia, hingga dunia menumpuk di punggung mereka, memamerkan keajaibannya, dan kemewahannya.Diantara mereka ada yang gembira, menikmati fasilitas dunia, hidupnya penuh dengan kecukupan dan banyak orang yang menghambakan pada dunia. Dan pundit-pundi dunia seperti sesuatu yang terikat di atas leher dan kepala mereka, tiba-tiba runtuh, hancur dan luluh lantah seketika. Dunia hanya terkekeh-kekeh menertawai mereka, sedangkan Iblis ada di sisinya tertawa bersama-sama dengan dunia.Inilah sebuah aktivitas yang dikerjakan para raja, para penguasa, orang-orang kaya sejak zaman Nabi Adam dulu sampai besok hari kiamat. Dunia yang membuat mereka melambung namanya, tetapi juga menyungkurkan derajatnya. Dunia yang membuat mereka maju tetapi sekaligus terpental mundur ke belakang. Dunia yang membuat mereka kaya sekaligus membuat mereka jadi sangat miskin. Yang paling langka diantara mereka, justru yang selamat. Karena dia bias mengalahkan dunia bukan dikalahkan dunia. Mereka tertolong dan terselamatkan Dari kejahatan duniawi. Dan mereka tergolong sangat terhitung jari. Mereka selamat dan tertolong karena mereka mengenal watak dunia, dan sangat kuat dalam mewaspadai tipudayanya.Wahai penanya, jika anda bias memandang dengan kedua matahatimu pada cacat-cacat dunia, engkau bias mengeluarkan dunia dari dalam hatimu. Namun bila engkau memandang dengan bola matamu engkau akan sibuk dengan pesonanya, dan segala cacat dunia akan tertutup, sehingga kamu tidak mampu mengeluarkan dunia dari hatimu, engkau tidak mampu zuhud dari dunia, dan engkau malah dibunuh dunia sebagaimana orang lain membunuhmu.Perangilah dirimu sendiri sampai dirimu meraih ketentraman. Bila engkau meraih ketentraman, dunia akan tampak cacat-cacatnya dan anda pun zuhud dari dunia. Ketentramannya terletak pada sikap hati yang menerima, dan sikap berselaras pada sirr (rahasia hati), dan jiwamu patuh pada keduanya atas apa yang diperintah dan dilarang oleh hati dan sirr. Anda menerima pemberiaan atau halangannya sekali pun. Itulah jiwamu akan tenteram pada qalbumu. Engkau akan melihat mahkota ketaqwaan dan kedekatan kepadaNya.Karena itu hendaknya anda tetap teguh beriman yang benar, meninggalkan kedustaan, dan meninggalkan kontra dengan para Sufi. Jangan sampai kalian menentangnya, karena para Sufi adalah para penguasa dunia dan akhirat, mereka adalah para penguasa kedekatan Ilahi, karena mereka menguasai segala hal selain Allah.Allah ta'ala telah mencukupi kaum Sufi dengan memenuhi hatinya untuk dekat kepadaNya, bermesraaan dalam kegembiraan cinta, dengan kemuliaan dan cahayaNya, kaum Sufi tidak menghiraukan orang yang memiliki dan memakan dunia, tidak memandang generasinya awal dan akhirnya, bahkan kehancurannya. Mereka menjadikan Allah Ta'ala sebagai pandangan mata rahasia batinnya. Mereka beribadah bukan karena takut akan kehancuran, tidak pula karena harapan memiliki, karena mereka diciptakan hanya untukNya, abadi bersamaNya, karena Allah menciptakan mereka sesuatu yang tidak anda ketahui. Allah berbuat sekehendakNya.Sementara orang munafik itu ketika bicara malah berdusta, ketika berjanji malah menipu, ketika diberi amanah malah khianat. Siapa yang bebas dari ketiga karakter ini - sebagaimana dalam hadits Nabi SAW - berarti bebas dari kemunafikan.Pekerti inilah yang membedakan antara Mu'min dan Munafik, maka raihlah sebagai cermin apakah dirimu itu munafik atau m'min, apakah dirimu bertauhid apakah musyrik. Dunia secara keseluruhan adalah fitnah dan sangat menghabiskan kesibukan, kecuali jika anda punya niat pada dunia untuk kemashlahatan akhirat. Bila niat benar maka semuanya akan menjadi ukhrawi. Jangan sampai nikmat ini semua sunyi dari syukur kepada Allah. Karena itu ikatlah nikmat Allah dengan syukur kepadaNya. Syukur kepada Allah Ta'ala dengan berterimakasih kepadaNya. Syukur itu sendiri ada dua macam.Pertama: memanfaatkan nikmat untuk ketaatan dan menolong orang miskin;Kedua; mengakui penuh bahwa yang memberi nikmat adalah Allah Ta'ala, dan berterimakasih kepadaNya. (bersambung)
Keluarkan Dunia dari Hatimu (Bag 2)
Kenapa Masih Ada Seribu Tuhan di Hatimu?Mengikuti Pengajian Syeikh Abdul Qadir al-Jilany Pagi, Bulan Dzul Qa’dah, 545 H. di MadrasahnyaSebagian Ulama Sufi mengatakan: Setiap kesibukan yang menjauhkan dirimu dari Allah Azza wa-Jalla, maka kesibukan itu tercela. Kesibukanmu yang menghambat dzikirmu, sholatmu, puasamu, hajimu dan semua perbuatan baikmu kepadaNya, adalah tercela. Bila kenikmatan dariNya kau balas dengan kesibukan yang membuatmu lalai, adalah tercela. Kau terima nikmatNya, kau balas dengan maksiat kepadaNya, dan kau balas dengan kembali kepada selain DiriNya.Jika itu yang terjadi, engkau telah memperteguh kebohongan dan kemunafikan dalam gerak dan diammu, rupa dan maknamu, malam dan siangmu. Syetan telah merekadaya dirimu dengan hiasan dusta dan perbuatan yang keji. Kamu telah berbohong dalam sholatmu. Kau ucapkan Allahu Akbar, dan kau dustai karena dalam hatimu ada tuhan lain selain Allah. Segala sesuatu yang kau gantungkan dirimu padanya, adalah menjadi tuhanmu. Segala yang kau takuti dan kau harapkan, berarti ia adalah tuhanmu. Hatimu tidak selaras dengan ucapanmu.Katakan Allahu Akbar, seribu kali dalam hati dan lisanmu, apakah anda tidak malu ketika mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, sedangkan ada seribu tuhan yang kau sembah selain Allah?Bertobatlah kepada Allah Azza wa-Jalla dari segala sesuatu dimana anda ada di dalamnya, sedangkan anda wahai orang yang berilmu anda telah benar-benar mengenal nama tanpa mengamalkan. Akh, itu dusta. Karena kau katakana, "Aku Berilmu", padahal kau dusta. Bagaimana engkau memerintahkan orang lain sedangkan dirimu tak pernah melakukannya? Allah swt berfirman:"Kenapa kau katakana hal-hal yang belum pernah kau lakukan?" (Ash-Shof :2)Celaka kamu ini. Kamu memerintahkan manusia sementara dirimu dusta. Kau perintahkan orang bertauhid tapi dalam hatimu musyrik. Kau perintahkan agar orang lain ikhlas, tapi dirimu riya’ dan munafiq. Kau perintahklan mereka meninggalkan maksiat tapi dirimu menumpuk dosa. Sungguh rasa malu telah hilang dari dirimu. Jika kau beriman pasti kau malu. Nabi SAW bersabda, "Malu itu sebagian iman."Tidak ada iman dalam dirimu, tidak ada yakin dalam hatimu, tidak ada amanah di dalam jiwamu. Engkau mengkhianati ilmu, lalu amanahmu sirna, lalu engkau ditulis di hadapan Allah sebagai kelompok pengkhianat. Aku tidak tahu obatnya, kecuali dirimu harus bertobat dan teguh dalam taubat itu. Siapa yang imannya benar pada Allah Azza wa-Jalla dan takdirNya, tidak menyekutukannya, maka masalah hidupnya akan selamat. Janganlah dirimu musyrik dengan atau melalui makhluk serta sebab akibat duniawi serta ikatan-ikatannya, agar dirimu bias selamat dari bencana dari seluruh perilaku makhluk dan dunia, hingga dirimu bisa mengalami transformasi dari iman menuju yaqin, lantas dirimu bisa dilimpahi kewalian Badaliyah, lalu Kewalian Ghaibiyah, bahkan terkadang sampai Quthbiyah, dimana Allah akan membanggakan dirimu pada semua makhluknya, manusia, Jin, Malaikat, semesta dan alam Arwah, lalu Allah mengajukan dan melimpahimu atas seluruh makhluknya, menguasakan padamu, mencintaimu, memposisikanmu, dan membuat dirimu dicintai oleh semua amkhlukNya. Inilah awal dan dasarnya, iman kepada Allah, RasulNya, membenarkanNya dan RasulNya adalah asas semua perkara ini. Islam, lalu iman, kemudian mengamalkan Kitab Allah Azza wa-Jalla dan syariat RasulNya, kemudian ikhlas beramal disertai Tauhid Qalbu ketika meraih sempurnanya iman.Orang yang beriman sesungguhnya adalah fana dari dirinya, dari anmalnya, dari segala sesuatu selain Allah Azza wa Jalla, kemudian ia tetap beramal namun ia tidak merasa beramal. Ia senantiasa memerangi dirinya sendiri dan seluruh pengaruh makhluk di sisi Allah Azza wa-Jalla, hingga Allah menunjukkan ke jalanNya. "Orang-orang yang berjuang (melawan dirinya) dalam Diri Kami, Kami akan menunjukkan Jalan-jalan Kami. " (Al-Angkabut : 69)
Dialog Rasulullah dengan Iblis
Segala puji hanya milik Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam sejahtera semoga senantiasa dilimpahkan kepada seorang Nabi yang Ummi, Muhammad saw., dan kepada keluarganya yang bersih serta seluruh sahabatnya yang mulia.Diriwayatkan dari Mu'adz bin Jabal r.a., dari Ibnu Abbas r.a. yang berkisah: Kami bersama Rasulullah saw. di rumah salah seorang sahabat Anshar, dimana saat itu kami di tengah-tengah jamaah. Lalu ada suara orang memanggil dari luar, "Wahai para penghuni rumah, apakah kalian mengizinkanku masuk, sementara kalian butuh kepadaku."Rasulullah bertanya kepada para jamaah, “Apakah kalian tahu, siapa yang memanggil dari luar itu?"Mereka menjawab, "Tentu Allah dan Rasul Nya lebih tahu."Lalu Rasulullah saw. menjelaskan, "Ini adalah iblis yang terkutuk semoga Allah senantiasa melaknatnya."Kemudian Umar r.a. meminta izin kepada Rasulullah sembari berkata, "Ya Rasulullah, apakah engkau mengizinkanku untuk membunuhnya?"Beliau menjawab, "Bersabarlah wahai Umar, apakah engkau tidak tahu bahwa ia termasuk makhluk yang tertunda kematiannya sampai batas waktu yang telah diketahui (hari Kiamat)? Akan tetapi sekarang silakan kalian membukakan pintu untuknya. Sebab ia diperintah untuk datang ke sini, maka pahamilah apa yang ia ucapkan dan dengarkan apa yang bakal ia ceritakan kepada kalian."Ibnu Abbas berkata: Kemudian dibukakan pintu, lalu ia masuk di tengah-tengah kami. Ternyata ia berupa orang yang sudah tua bangka dan buta sebelah mata. Ia berjenggot sebanyak tujuh helai rambut yang panjangnya seperti rambut kuda. Kedua kelopak matanya terbelah ke atas (tidak ke samping). Sedangkan kepalanya seperti kepala gajah yang sangat besar, gigi taringnya memanjang keluar seperti taring babi. Sementara kedua bibirnya seperti bibir kerbau. Ia datang sambil memberi salam. 'Assalamu'alaika ya Muhammad, Assalamu'alaikum ya Jamaa'atal mus1imin," kata iblis.Nabi menjawab, "Assalamu lillah ya la'iin (Keselamatan hanya milik AlIah wahai makhluk yang terkutuk). Saya mendengar engkau punya keperluan kepada kami. Apa keperluanmu tersebut wahai Iblis?""Wahai Muhammad, saya datang ke sini bukan karena kemauanku sendiri, tapi saya datang ke sini karena terpaksa," tutur iblis.“Apa yang membuatmu terpaksa harus datang ke sini wahai makhluk terkutuk?" tanya Rasulullah.Iblis menjawab, "Telah datang kepadaku seorang malaikat yang diutus oleh Tuhan Yang Mahaagung, dimana utusan itu berkata kepadaku, 'Sesungguhnya Allah swt. memerintahmu untuk datang kepada Muhammad saw. sementara engkau adalah makhluk yang rendah dan hina. Engkau harus memberi tahu kepadanya, bagaimana engkau menggoda dan merekayasa anak-cucu Adam, bagaimana engkau membujuk dan merayu mereka. Lalu engkau harus menjawab segala apa yang ditanyakan Muhammad dengan jujur. Maka demi Kebesaran dan Keagungan Allah, jika engkau menjawabnya dengan bohong, sekalipun hanya sekali, sungguh engkau akan Allah jadikan debu yang bakal dihempaskan oleh angin kencang, dan musuh-musuhmu akan merasa senang.' Wahai Muhammad, maka sekarang saya datang kepadamu sebagaimana yang diperintahkan kepadaku. Maka tanyakan apa saja yang engkau inginkan. Kalau sampai saya tidak menjawabnya dengan jujur, maka musuh-musuhku akan merasa senang atas musibah yang bakal saya terima. Sementara tidak ada beban yang lebih berat bagiku daripada bersenangnya musuh-musuhku atas musibah yang menimpa diriku."Rasulullah mulai melemparkan pertanyaan kepada iblis, "Jika engkau bisa menjawab dengan jujur, maka coba ceritakan kepadaku, siapa orang yang paling engkau benci?"Iblis menjawab dengan jujur, "Engkau, wahai Muhammad, adalah orang yang paling aku benci dan kemudian orang-orang yang mengikuti agamamu.""Lalu siapa lagi yang paling engkau benci?" tanya Rasulullah."Seorang pemuda yang bertakwa dimana ia mencurahkan dirinva hanya kepada Allah swt.," jawab Iblis."Siapa lagi?" tanya Rasulullah"Orang alim yang wara' (menjaga diri dari syubhat) lagi sabar," jawab iblis."Siapa lagi?" tanya Rasulullah"Orang yang senantiasa melanggengkan kesucian dari tiga kotoran (hadats besar, kecil dan najis; pent.)," tutur iblis"Siapa lagi?" tanya Rasulullah"Orang fakir yang senantiasa bersabar, yang tidak pernah menuturkan kefakirannya ke pada siapa pun dan juga tidak pernah mengeluh penderitaan yang dialaminya." jawab iblis."Lalu dari mana engkau tahu kalau ia bersabar?" tanya Rasulullah."Wahai Muhammad, bila ia masih dan pernah mengeluhkan penderitaannya kepada makhluk yang sama dengannya selama tiga hari, maka Allah tidak akan mencatat perbuatannya dalam kelompok orang-orang yang bersabar," jelas Iblis."Lalu siapa lagi, wahai lblis?" tanya Rasul."Orang kaya yang bersyukur," tutur iblis."Lalu apa yang bisa memberi tahu kepadamu bahwa ia bersyukur?" tanya Rasulullah"Bila saya melihatnya ia mengambil kekayaannya dari apa saja yang dihalalkan dan kemudian disalurkan pada tempatnya," tutur iblis."Bagaiinana kondisimu apabila ummatku menjalankan shalat?" tanya Rasulullah."Wahai Muhammad, saya langsung merasa gelisah dan gemetar," jawab iblis."Mengapa wahai makhluk yang terkuluk?" tanya Rasulullah."Sesungguhnya apabila seorang hamba bersujud kepada Allah sekali sujud, maka Allah akan mengangkat satu derajat (tingkat). Apabila mereka berpuasa, maka saya terikat sampai mereka berbuka kembali. Apabila mereka menunaikan manasik haji, maka saya jadi gila. Apabila membaca al-Qur'an, maka saya akan meleleh (mencair) seperti timah yang dipanaskan dengan api. Apabila bersedekah maka seakan-akan orang yang bersedekah tersebut mengambil kapak lalu memotong saya menjadi dua," jawab iblis."Mengapa demikian wahai Abu Murrah (julukan iblis)?" tanya Rasulullah."Sebab dalam sedekah ada empat perkara yang perlu diperhatikan: Dengan sedekah itu, Allah akan menurunkan keberkahan dalam hartanya, menjadikan ia disenangi di kalangan makhluk Nya, dengan sedekah itu pula Allah akan menjadikan suatu penghalang antara neraka dengannya dan akan menghindarkan segala bencana dan penyakit," tutur iblis menjelaskan."Lalu bagaimana pendapatnu tentang Abu Bakar?" tanya Rasulullah."Ia sewaktu jahillyyah saja tidak pernah taat kepadaku, apalagi sewaktu dalam Islam," tutur iblis."Bagaimana dengan Umar bin Khaththab?" tanya Rasulullah."Demi Allah, setiap kali saya bertemu dengannya, mesti akan lari darinya," jawab iblis."Bagaimana dengan Utsman?" tanya Rasulullah."Saya merasa malu terhadap orang yang para malaikat saja malu kepadanya," jawab iblis."lalu bagaimana dengan Ali bin Abi Thalib?" tanya Rasulullah."Andaikan saya bisa selamat darinya dan tidak pernah bertemu dengannya, ia meninggalkanku dan saya pun meninggalkannya. Akan tetapi ia tidak pernah melakukan hal itu sama sekali," tutur iblis."Segala puji bagi Allah Yang telah menjadikan ummatku bahagia dan mencelakakanmu sampai pada waktu yang ditentukan," tutur Rasulullah. "Tidak dan tidak mungkin, dimana ummatmu bisa bahagia sementara saya senantiasa hidup dan tidak akan mati sampai pada waktu yang telah ditentukan. Lalu bagaimana engkau bisa bahagia terhadap ummatmu, sementara saya bisa masuk kepada mereka melalui aliran darah dan daging, sedangkan mereka tidak bisa melihatku. Demi Tuhan Yang telah menciptakanku dan telah menunda kematianku sampai pada hari mereka dibangkitkan kembali (Kiamat), sungguh saya akan menyesatkan mereka seluruhnya, baik yang bodoh maupun yang alim, yang awam maupun yang bisa membaca al Qur'an, yang nakal maupun yang rajin beribadah, kecuali hamba-hamba Allah yang mukhlas (sangat-sangat ikhlas)," tutur iblis."Siapa menurut engkau hamba-hamba Allah yang mukhlas itu?" tanya Rasulullah.Iblis menjawab dengan panjang lebar, "Apakah engkau tidak tahu wahai Muhammad, bahwa orang yang masih suka dirham dan dinar (harta) adalah belum bisa murni karena Allah swt. Apabila saya melihat seseorang sudah tidak menyukai dirham dan dinar, serta tidak suka dipuji, maka saya tahu bahwa ia adalah orang yang mukhlis karena Allah, lalu saya tinggalkan. Sesungguhnya seorang hamba selagi masih suka harta dan pujian, sedangkan hatinya selalu bergantung pada kesenangan-kesenangan duniawi, maka ia akan lebih taat kepadaku daripada orang-orang yang telah saya jelaskan kepadamu. Apakah engkau tidak tahu wahai Muhammad, bahwa cinta harta itu termasuk dosa yang paling besar? Apakah engkau tidak tahu wahai Muhammad, bahwa cinta kedudukan adalah termasuk dosa yang paling besar? Apakah engkau tidak tahu, saya memiliki tujuhpuluh ribu anak, sedangkan setiap anak dari jumlah tersebut memiliki tujuhpuluh ribu setan. Di antara mereka ada yang sudah saya tugaskan untuk menggoda ulama, ada yang saya tugaskan untuk menggoda para pemuda, ada yang saya tugaskan menggoda orang-orang yang sudah tua. Anak-anak muda bagi kami tidak ada masalah, sedangkan anak-anak kecil lebih mudah kami permainkan sekehendak saya. Di antara mereka juga ada yang saya tugaskan untuk menggoda orang-orang yang tekun beribadah, dan ada juga yang saya tugaskan untuk menggoda orang-orang zuhud. Mereka keluar masuk dari kondisi ke kondisi lain, dari satu pintu ke pintu lain, sehingga mereka berhasil dengan menggunakan cara apa pun. Saya ambil dari mereka nilai keikhlasan dalam hatinya, sehingga mereka beribadah kepada Allah dengan tidak ikhlas, sementara mereka tidak merasakan hal itu. Apakah engkau tidak tahu wahai Muhammad, bahwa Barshish seorang rahib (pendeta) yang berbuat ikhlas karena Allah selama tujuhpuluh tahun, sehingga dengan doanya ia sanggup menyelamatkan orang-orang yang sakit. Akan tetapi saya tidak berhenti menggodanya sehingga ia sempat berbuat zina dengan seorang perempuan, membunuh orang dan mati dalam kondisi kafir? Inilah yang disebutkan oleh Allah dalam Kitab Nya dengan firman-Nya:"(Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) setan ketika dia berkata kepada manusia: Kafirlah kamu maka tatkala manusia itu telah kafir ia berkata, 'Sesungguhnya aku cuci tangan darimu, karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan semesta alam." (Q.s. al Hasyr: 16).Apakah engkau tidak tahu wahai Muhammad, bahwa kebohongan itu dari saya, saya adalah orang yang berbohong pertama kali. Orang yang berbohong adalah temanku. Barangsiapa bersumpah atas Nama Allah dengan berbohong maka ia adalah kekasihku. Apakah engkau tidak tahu wahai Muhammad, bahwa saya pernah bersumpah kepada Adam dan Hawa dengan atas Nama Allah, 'Bahwa saya akan memberi nasihat kepada kalian berdua.' Maka sumpah bohong itu menyenangkan hatiku. Sedangkan menggunjing dan mengadu domba adalah buah santapan dan kesukaanku. Kesaksian dusta adalah penyejuk mataku dan kesenanganku. Barangsiapa bersumpah dengan menceraikan istrinya (talak) maka hampir tidak akan bisa selamat, sekalipun hanya sekali. Andaikan itu benar, yang karenanya orang membiasakan lidahnya mengucapkan kata-kata tersebut, istrinya akan menjadi haram. Kemudian dari pasangan tersebut menghasilkan keturunan sampai hari Kiamat nanti yang semuanya hasil dari anak-anak zina. Sehingga seluruhnya masuk neraka hanya gara-gara satu ucapan. Wahai Muhammad, sesungguhnya diantara ummatmu ada orang yang menunda-nunda shalatnya dari waktu ke waktu. Ketika ia hendak menjalankan shalat maka saya selalu berada padanya dan mengganggu sembari berkata kepadanya, 'Masih ada waktu, teruskan engkau sibuk dengan urusan dan pekerjaan yang engkau lakukan.' Sehingga ia menunda shalatnya, dan kemudian shalat di luar waktunya. Akibatnya dengan shalat yang dikerjakan di luar waktunya itu ia akan dipukul di kepalanya. Kalau saya merasa kalah, maka saya mengirim kepadanya salah seorang dari setan-setan manusia yang akan menyibukkan waktunya. Kalau dengan usaha itu saya masih kalah, maka saya tinggalkan sampai ia menjalankan shalat. Ketika dalam shalatnya saya berkata kepadanya, 'Lihatlah ke kanan dan ke kiri.' Akhirnya ia melihat. Maka pada saat itu wajahnya saya usap dengan tangan saya, kemudian saya menghadap di depan matanya sembari berkata, 'Engkau telah melakukan apa yang tidak akan menjadi baik selamanya.'Wahai Muhammad, engkau tahu, bahwa orang yang banyak menoleh dalam shalatnya, Allah akan memukul kepalanya dengan shalat tersebut. Kalau dalam shalat ia sanggup mengalahkan saya, sementara ia shalat sendirian, maka saya perintah untuk tergesa-gesa. Maka ia mengerjakan shalat seperti ayam yang mencocok benih-benih untuk dimakan dan segera meninggalkannya. Kalau ia sanggup mengalahkan saya, dan shalat berjamaah, maka saya kalungkan rantai di lehernya. Ketika ia sedang ruku' saya tarik kepalanya ke atas sebelum imam bangun dari ruku' dan saya turunkan sebelum imam turun. Wahai Muhammad, engkau tahu, bahwa orang yang melakukan shalat seperti itu, maka batal shalatnya, dan di hari Kiamat nanti Allah akan menyalin kepalanya dengan kepala keledai. Kalau dengan cara tersebut saya masih kalah, maka saya perintahkan meremas-remas jari-jemarinya sehingga bersuara, sedangkan ia sedang shalat, karenanya ia termasuk orang-orang yang bertasbih kepadaku padahal ia sedang shalat. Kalau dengan cara tersebut masih juga tidak mempan, maka saya tiup hidungnya sehingga ia menguap, sementara ia sedang shalat. Kalau ia tidak menutupi mulutnya dengan tangannya maka setan masuk ke dalam perutnya, sehingga ia semakin rakus dengan dunia dan berbagai perangkapnya. Ia akan selalu mendengar dan taat kepadaku.Bagaimana ummatmu bisa bahagia wahai Muhammad, sementara saya memerintah orang-orang miskin untuk meninggalkan shalat, dan saya berkata kepadanya, 'Shalat bukanlah kewajiban kalian, shalat hanya kewajiban orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah.' Saya pun berkata kepada orang yang sakit, 'Tinggalkan shalat, karena shalat bukanlah kewajibanmu. Shalat hanyalah kewajiban orang-orang yang diberi nikmat kesehatan. Sebab Allah sudah berfirman, , “... dan tidak apa apa bagi seorang yang sedang sakit ...,“(Q.s. an Nur: 61). Kalau engkau sudah sembuh baru melakukan shalat.' Akhirnya ia mati dalam kondisi kafir. Apabila ia mati dengan meninggalkan shalat ketika sedang sakit, maka ia akan bertemu Allah dengan dimurkai.Wahai Muhammad, jika saya menyimpang dan berdusta kepadamu, maka hendaknya engkau memohon kepada Allah agar saya dijadikan debu yang lembut. Wahai Muhammad, apakah engkau masih juga merasa gembira terhadap ummatmu, sementara saya bisa memurtadkan seperenam dari ummatmu untuk keluar dari Islam?"Kemudian Rasulullah meneruskan pertanyaannya, "Wahai makhluk yang terkutuk, siapa teman dudukmu?""Orang-orang yang suka makan riba," jawab iblis."Lalu siapa teman dekatmu?" tanya Rasululah kembali."Orang yang berzina," jawabnya. "Siapa teman tidurmu?" tanya Rasulullah."Orang yang mabuk," jawabnya."Siapa tamumu?" tanya Rasulullah."Pencuri," jawabnya. "Siapa utusanmu?" tanya Rasulullah."Tukang sihir," jawabnya.'Apa yang menyenangkan pandangan matamu?" tanya Rasulullah."Orang yang bersumpah dengan talak," jawab iblis."Siapa kekasihmu?" tanya Rasulullah."Orang yang meninggalkan shalat Jum'at," jawabnya."Wahai makhluk yang terkutuk, apa yang mengakibatkan punggungmu patah?" Tanya Rasulullah."Suara ringkik kuda untuk berperang membela agama Allah," jawabnya.“Apa yang menjadikan tubuhmu meleleh?" tanya Rasulullah."Tobatnya orang yang bertobat" jawabnya.“Apa yang membuat hatimu panas?" tanya Rasulullah."Banyaknya istighfar kepada Allah, baik di malam atau siang hari," jawabnya.“Apa yang membuatmu merasa malu dan hina?" tanya Rasulullah."Sedekah secara rahasia," jawabnya"Apa yang menjadikan matamu buta?" tanya Rasulullah."Shalat di waktu sahur," jawabnya.“Apa yang dapat mengendalikan kepalamu?" tanya Rasulullah."Memperbanyak shalat berjamaah," tuturnya."Siapa orang yang paling bisa membahagiakanmu?" tanya Rasulullah"Orang yang sengaja meninggalkan shalat," tuturnya."Siapa orang yang paling celaka menurut engkau?" tanya Rasulullah"Orang-orang yang kikir," jawabnya"Apa yang menyita pekerjaanmu?" tanya Rasulullah."Majelis orang-orang alim," jawabnya."Bagaimana cara engkau makan?" Tanya Rasulullah"Dengan tangan kiriku dan jari-jemariku," jawabnya"Di mana engkau mencari tempat berteduh untuk anak anakmu di waktu panas?" tanya Rasulullah"Di bawah kuku manusia," jawab iblis"Berapa kebutuhan yang pernah engkau minta kepada Tuhamnu?" tanya Rasulullah."Sepuluh macam," jawabnya"Apa saja itu wahai makhluk terkutuk?" tanya RasulullahIblis pun menjawabnya, "Saya memintaNya agar saya bisa berserikat dengan anak-cucu Adam dalam harta kekayaan dan anak-anak mereka. Akhirnya Tuhan mengizinkanku berserikat dalam kelompok mereka. Itulah maksud firman Allah:"Dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka melainkan tipuan belaka." (Q.s. al Isra': 64).Setiap harta yang tidak dikeluarkan zakatnya, maka saya ikut memakannya. Saya juga ikut makan makanan yang bercampur riba dan haram serta segala harta yang tidak dimohonkan perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Setiap orang yang tidak memohon perlindungan kepada Allah dari setan ketika bersetubuh dengan istrinya, maka setan akan ikut bersetubuh. Akhirnya melahirkan anak yang mendengar dan taat kepadaku. Begitu pula orang yang naik kendaraan dengan maksud mencari penghasilan yang tidak dihalalkan, maka saya adalah temannya. Itulah maksud firman Allah:“Dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki." (Q.s. al Isra': 64).Saya memohon kepada Nya agar saya punya rumah, maka rumahku adalah kamar mandi. Saya memohon agar saya punya masjid, akhirnya pasar menjadi masjidku. Saya memohon agar saya punya al-Qur'an, maka syair adalah al-Qur'anku. Saya memohon agar saya punya adzan, maka terompet adalah panggilan adzanku. Saya memohon kepadaNya agar saya punya tempat tidur, maka orang-orang mabuk adalah tempat tidurku. Saya memohon agar saya memiliki teman-teman yang menolongku, maka kelompok al-Qadariyyah menjadi teman-teman yang membantuku. Dan saya memohon agar saya mendapatkan teman-teman dekat, maka orang-orang yang menginfakkan harta kekayaannya untuk kemaksiatan adalah teman dekatku. Ia kemudian membaca firman Allah, “Sesungguhnya pemboros pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (Q.s. al Isra': 27)."Rasulullah saw. berkata kepadanya, "Andaikan tidak setiap apa yang engkau ucapkan itu didukung oleh ayat-ayat dari Kitab Allah tentu aku tidak akan membenarkanmu."Lalu iblis berkata lagi, "Wahai Muhammad, saya memohon kepada Allah agar saya bisa melihat anak-cucu Adam, sementara mereka tidak bisa melihatku. Kemudian Allah menjadikan aku bisa mengalir melalui peredaran darah mereka. Diriku bisa berjalan ke mana pun sesuai kemauan diriku dan dengan cara bagaimana pun. Kalau saya mau dalam sesaat pun bisa. Kemudian Allah berfirman kepadaku, 'Engkau bisa melakukan apa saja yang kau minta.' Akhirnya saya merasa senang dan bangga sampai hari Kiamat. Sesungguhnya orang yang mengikutiku lebih banyak daripada orang yang mengikutimu. Sebagian besar anak-cucu Adam akan mengikutiku sampai hari Kiamat.Saya memiliki anak yang saya beri nama Atamah. Ia akan kencing di telinga seorang hamba ketika ia tidur meninggalkan shalat Atamah (Isya'). Andalkan tidak karenanya tentu manusia tidak akan tidur lebih dahulu sebelum menjalankan shalat. Saya juga punya anak yang saya beri nama Mutaqadhi. Apabila ada seorang hamba melakukan ketaatan (ibadah) dengan rahasia dan ingin menutupinya, maka anak saya tersebut senantiasa membatalkannya dan dipamerkan di tengah-tengah manusia, sehingga semua manusia tahu. Akhirnya Allah membatalkan sembilan puluh sembilan dari seratus pahalanya. Sehingga yang tersisa hanya satu pahala. Sebab setiap ketaatan yang dilakukan secara rahasia akan diberi seratus pahala. Saya punya anak lagi yang bernama Kuhyal, dimana ia bertugas mengusapi celak mata semua orang yang sedang berada di majelis pengajian dan ketika khathib sedang berkhuthbah. Sehingga mereka terkantuk dan akhirnya tidur, tidak bisa mendengarkan apa yang dibicarakan para ulama. Mereka yang tertidur tidak akan ditulis pahala sedikit pun untuk selamanya.Setiap kali ada perempuan keluar mesti ada setan yang duduk di pinggulnya, ada pula yang duduk di daging yang mengelilingi kukunya. Dimana mereka akan menghiasi kepada orang-orang yang melihatnya. Kedua setan itu kemudian berkata kepadanya, 'Keluarkan tanganmu.' Akhirnya ia mengeluarkan tangannya, kemudian kukunya tampak, lalu kelihatan nodanya.Wahai Muhammad, sebenarnya saya tidak bisa menyesatkan sedikit pun. Akan tetapi saya hanya akan mengganggu dan menghiasi. Andaikan saya memiliki hak dan kemampuan untuk menyesatkan, tentu saya tidak membiarkan segelintir manusia pun di muka bumi ini yang masih sempat mengucapkan dua kalimat syahadat, 'Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Utusan-Nya.' Tidak akan ada lagi orang yang shalat dan berpuasa. Sebagaimana engkau wahai Muhammad, tidak berhak untuk memberikan hidayah sedikit pun kepada siapa saja. Akan tetapi engkau adalah seorang utusan dan penyampai amanat dari Tuhan. Andaikan engkau memiliki hak dan kemampuan untuk memberi hidayah, tentu engkau tidak akan membiarkan segelintir orang kafir pun di muka bumi ini. Engkau hanyalah sebagai argumentasi (hujjah) Tuhan terhadap makhluk-Nya. Sementara saya hanyalah menjadi sebab celakanya orang yang sebelumnya sudah dicap oleh Allah menjadi orang celaka. Orang yang bahagia dan beruntung adalah orang yang dijadikan bahagia oleh Allah sejak dalam perut ibunya, sedangkan orang yang celaka adalah orang yang dijadikan celaka oleh Allah sejak dalam perut ibunya."Kemudian Rasulullah membacakan firman Allah:"Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia ummat Yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu." (Q.s. Hud: 118 9).Kemudian beliau melanjutkan dengan firman Allah yang lain:"Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku." (Q.s. al Ahzab: 38).Lantas Rasulullah saw. berkata lagi kepada iblis, "Wahai Abu Murrah (iblis), apakah engkau masih mungkin bertobat dan kembali kepada Allah, sementara saya akan menjaminmu masuk surga.”Ia menjawab, "Wahai Rasulullah, ketentuan telah memutuskan dan Qalam pun telah kering dengan apa yang terjadi seperti ini hingga hari kiamat nanti. Maka Mahasuci Tuhan Yang telah menjadikanmu sebagai tuan para Nabi dan khatib para penduduk surga. Dia telah memilih dan mengkhususkan dirimu. Sementara Dia telah menjadikan saya sebagai tuan orang-orang celaka dan khatib para penduduk neraka. Saya adalah makhluk yang celaka lagi terusir. Ini adalah akhir dari apa yang saya beritahukan kepadamu, dan saya mengatakan sejujurnya."Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, awal dan akhir, dhahir dan bathin. Dan semoga shalawat dan salam sejahtera tetap diberikan kepada seorang Nabi yang Ummi dan kepada para keluarga dan sehabatnya serta para Utusan dan para Nabi.
---(ooo)---Syeikh Muhyiddin Ibnu 'Araby
Sifat Orang Bertauhid Yang Sufistik
Pengajian Syeikh Abu Nashr as-SarrajSyekh Abu Nashr as-Sarraj berkata, "Sebagaimana yang saya terima dari Yusuf bin al-Husain ar-Razi, berkata, 'Ada seseorang berdiri di depan Dzun-Nun al-Mishri sambil berkata, 'Beritahu saya apa sebenarnya Tauhid itu?' Dzun-Nun menjawab, yaitu hendaknya Anda tahu, bahwa Kekuasaan (Qudrat) Allah swt. terhadap segala sesuatu itu tanpa ada persenyawaan atau campuran. Ciptaan-Nya pada segala sesuatu tanpa penanganan secara langsung. Sedangkan sebab segala sesuatu adalah ciptaan-Nya, dan tidak ada alasan (sebab) bagi ciptaanNya. Di langit yang paling tinggi maupun di bumi yang paling rendah tidak ada pengatur lain selain Allah swt. Apa pun yang diilustrasikan oleh imajinasi Anda, maka Allah sama sekali berbeda dan bukan apa yang ada dalam benak Anda tersebut'."Al-Junaid - rahimahullah - ketika ditanya tentang Tauhid mengatakan, "Tauhid adalah pengesaan seorang muwahhid (yang manunggal dengan Allah) dalam merealisasikan Wahdaniyyah-Nya dengan kemahasempurnaan Ahadiyyah-Nya. Dimana Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan, dengan meniadakan segala persamaan, sepadan, serupa dan berbagai bentuk peribadatan (penghambaan) kepada selain Dia. Tuhan Yang tidak bisa diserupakan, dikondisikan dengan bagaimana, digambarakan dan tidak pula dapat dimisalkan. Tuhan Yang Maha Esa, Mahakekal, Mahatunggal Yang tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."Al-Junaid ditanya lagi tentang Tauhid. Maka ia menjawab, "Tauhid adalah suatu makna, dimana berbagai gambaran hilang di dalamnya, dan berbagai ilmu pun musnah di dalamnya. Sedangkan Allah swt. akan senantiasa Eksis dan tidak pernah lenyap."Dua jawaban yang dikemukakan oleh Dzun-Nun dan al-Junaid adalah jawaban tentang Tauhid dzhahir, yakni Tauhid orang-orang awam. Sedangkan jawaban al-Junaid yang terakhir - sebagaimana yang saya sebutkan sebelum ini - adalah jawaban Tauhid orang orang khusus.Al-Junaid ditanya tentang Tauhid orang-orang khusus (khas), ia menjawab, "Adalah dimana seorang hamba hanya merupakan bayangan yang tak bisa berbuat apa-apa di hadapan Allah Azza wa Jalla, dimana perbuatan-perbuatan Allah dan segala yang diaturnya berlaku padanya sesuai dengan aturan-aturan hukum dan Kekuasaan-Nya, dalam kedalaman samudra Tauhid-Nya, dengan fana’ (sirna) dari dirinya, doa orang lain (makhluk) untuknya dan pemenuhan terhadap hakikat-hakikat eksistensi Kemahaesaan (Wahdaniyyah)-Nya dalam hakikat kedekatannya, dengan hilangnya rasa dan gerakannya. Karena al-Haq sendiri Yang menjalankan segala perintah yang diinginkan Nya. Di mana akhir perjalanan seorang hamba kembali dalam kondisinya yang pertama. Sehingga pada saat ini ia seperti sebelum ia ada."Al-Junaid juga berkata, "Tauhid adalah keluar dari kesempitan bentuk-bentuk temporal menuju ke hamparan luas keabadian dan kekekalan."Jika ada orang bertanya, Apa makna pendapat al-Junaid yang mengatakan, 'Di mana akhir perjalanan seorang hamba kembali dalam kondisinya yang pertama. Sehingga pada saat ini ia seperti sebelum ia ada'." Maka jawabannya adalah sebagaimana yang difirmankan Allah Azza wajalla:"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi (tulang rusuk) mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), 'Bukankah Aku ini Tuhanmu?'Mereka menjawab, 'Betul (Engkau Tuhan kami), kami menyaksikani." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat, kamu tidak mengatakan, "Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Keesaan Tuhan). " (Q.s. al-Araf 172).Al-Junaid mengemukakan tentang makna ayat tersebut, "Darimana ia berada, bagaimana ia berada sebelum saat ini ada? Bukankah yang menjawab pada saat itu adalah ruh-ruh yang memperlihatkan Kekuasaan Allah dan melaksanakan seluruh titah-Nya? Maka keberadaannya sekarang, pada hakikatnya sama seperti sebelum ia ada. Dan inilah puncak hakikat Tauhid kepada Dzat Yang Mahatunggal, yakni hendaknya keberadaan seorang hamba, seperti sebelum ia ada. Sementara Allah swt. senantiasa ada dan tetap eksis."Pernah ada seseorang bertanya kepada Abu Bakar Dulaf bin Jahdar asy-Syibli - rahimahullah - , "Wahai Abu Bakar, (panggilan asy-Syibli; pent.) beritahukan kepada saya tentang Tauhid murni, dengan suatu bahasa yang benar." Asy-Syibli menjawab, "Celaka kau!!:Barangsiapa menjawab tentang Tauhid, maka ia adalah orang yang kafir dan ingkar (mulhid). Dan barangsiapa memberi isyarat tentang Tauhid, maka ia adalah penyembah berhala. Sementara orang yang diam tak berkomentar tentang Tauhid adalah bodoh. Sedangkan orang yang mengira, bahwa ia telah 'sampai' (wushul), sebenarnya ia tidak mencapai apa apa. Barangsiapa bercerita tentang Tauhid maka ia adalah orang yang lalai, dan barangsiapa menyangka, bahwa ia dekat maka sebenarnya ia adalah jauh. Sementara orang yang berpura-pura mampu menghayati, maka sebenarnya ia adalah orang yang kehilangan. Sedangkan segala apa yang anda bedakan dengan daya imajinasi, dan anda pahami dengan akal sekalipun dalam makna yang paling sempurna menurut Anda, maka sebenarnya hal itu adalah sesuatu yang diatur dan berasal dari diri anda, suatu ciptaan yang baru dan makhluk yang sama dengan Anda."Jika kita berusaha menerangkan apa yang dikatakan asy-Syibli sebagaimana mestinya, tentu akan memakan banyak waktu. Namun dengan singkat dan ringkas sepertinya ia ingin mengatakan tentang Tauhid: Adalah menjadikan Dzat Yang Maha Qadim sebagai Dzat yang sama sekali berbeda dengan makhluk yang diciptakan (muhdats). Sementara itu, tak ada cara lain bagi makhluk kecuali hanya menyebut-Nya, menerangkan-Nya dengan Sifat dan memberi atribut untuk-Nya sesuai dengan kadar yang bisa diterangkan kepada mereka dan digambarkan padanya.Syekh Abu Nashr rahimahullah berkata: "Saya dapatkan dari Yusuf bin al-Husain tiga jawaban tentang Tauhid:Pertama, adalah jawaban tentang Tauhid untuk orang orang awam. Ialah dengan menjadikan Allah sebagai Dzat Yang Maha Esa, yang dengan Kemahaesaan-Nya Dia berbeda sama sekali dengan yang lain, dengan meniadakan segala perbandingan, persamaan, padanan dan serupaan. Sementara itu ia cenderung untuk menentang rasa takut dan harapan dengan hilangnya hakikat pembenaran. Sebab dengan tetap adanya hakikat pembenaran tak mungkin bisa cenderung untuk menentang rasa takut dan harapan.Kedua, Tauhid orang-orang ahli hakikat dari sisi zhahir. Yaitu pengakuan akan Wahdaniyyah (Kemahaesaan) Allah, dengan tidak melihat pada sebab-sebab dan menghilangkan segala yang serupa. Selalu komitmen terhadap perintah dan larangan, baik secara lahir maupun batin dengan menghilangkan takut (ar-rahbah) kepada selain Allah swt. harapan (ar-raghbah) dan itu dilakukan dengan memberikan bukti-bukti kebenaran bersamaan dengan memberikan bukti-bukti dakwah (ajakan) dan mengabulkannya. Kalau ditanya, 'Apa makna dari ungkapan, 'Menghilangkan harapan (ar-raghbah) dan takut (ar-rahbah).' Sementara keduanya adalah hal yang benar?" Maka Jawabannya, adalah memang keduanya merupakan hal yang benar (haq). Keduanya tetap berada pada posisinya semula. Namun kekuatan Wahdaniyyah telah memaksanya sirna, sebagaimana sinar matahari memaksa sinar planet lain dan bintang-bintang hilang, sedangkan mereka masih berada dalam posisi masing-masing.Ketiga, Tauhid orang-orang khusus, dimana seorang hamba dengan rahasia hati, penghayatan dan kalbunya seakan-akan berada di hadapan Allah Azza wa Jalla. Dimana perlakuan dan pengendalian Allah berlaku pada dirinya. Demikian pula hukum-hukum Kekuasaan Nya berlaku padanya dalam samudra Tauhid-Nya, dimana dirinya fana’ dan perasaannya pun hilang karena al-Haq melakukan segala-galanya sesuai dengan kehendak-Nya. Sehingga keberadaannya sebagaimana sebelum ia wujud. Yakni berada dalam lingkaran ketentuan hukum-hukum Allah dan melaksanakan apa yang dikehendaki-Nya.Sedangkan keterangannya adalah sebagaimana yang disinggung oleh al-Junaid dalam memahami firman Allah Azza wajalla dalam surat al-'Araf : 172 di atas.Dalam memahami hakikat Tauhid, mereka memiliki ungkapan lain. Dimana mereka menggunakan bahasa orang-orang yang telah bisa menghayati dan manunggal bersama Allah (al-wajidun). Sementara isyarat-isyarat mereka tentang hal itu sulit untuk dipahami. Di sini kami ingin menyebutkan sekilas tentang hal itu yang mungkin dapat diterangkan. Sebagian besar disiplin ilmu ini memang penuh isyarat-isyarat yang tidak asing bagi orang yang memang ahlinya. Namun ketika hal ini dijelaskan dan diterangkan dengan bahasa ungkapan, maka menjadi tidak jelas dan hilang keindahannya. Saya terdorong untuk menjelaskannya, karena saya meletakkan dalam bentuk tulisan dalam kitab. Sedangkan kitab bisa jadi ditelaah oleh orang yang bisa memahami dan juga tidak menutup kemungkinan akan ditelaah oleh orang yang tidak sanggup memahami. Kemudian mereka yang tidak paham akan celaka.Isyarat-isyarat hakikat Tauhid ini adalah sebagaimana yang oleh Ruwaim bin Ahmad bin Nazid al-Baghdadi, tatkala ditanya tentang makna Tauhid, "Menghilangkan bekas-bekas sifat manusiawi (al-basyariyyah) dan memurnikan Sifat Ketuhanan (Uluhiyyah)". Yang dimaksud menghilangkan bekas-bekas sifat manusiawi ialah dengan mengganti tabiat (akhlak) nafsunya. Sebab sering kali nafsu mengaku sifat-sifat Ketuhanan (ar-Rububiyyah), dengan melihat dirinya yang melakukan perbuatan-perbuatannya. Seperti ucapan seorang hamba, 'Aku dan aku." Ia tidak mengatakan, "Kecuali Allah." Sebab sifat Inniyyah (Keakuan) itu hanya milik Allah Azza wa jalla. Inilah yang dimaksud menghilangkan bekas-bekas sifat manusia. Sedangkan yang dimaksud memurnikan Sifat Ketuhanan (Uluhiyyah) ialah menunggalkan dan memurnikan Dzat Yang Maha Qadim dari segala yang baru diciptakan-Nya (al-Muhdatsat).Sementara itu, ada pula yang mengatakan, bahwa Tauhid ialah melupakan apa saja yang selain Tauhid dengan cara menauhidkanNya. Sehingga apa saja mengharuskan hukum hakikat. Ada pula yang berpendapat, bahwa Wahdaniyyah adalah kekal-Nya al-Haq dengan fana’ (sirna)nya yang lain. Yakni fana’ yang mengharuskan fana’ adalah mengharuskan hukum hakikat. Dikatakan pula, bahwa Wahdaniyyah adalah Kekekalan al-Haq dan fana’nya segala sesuatu selain Dia. Yakni fana’nya seorang hamba untuk tidak menyebut diri dan hatinya, dengan selalu mengingat Allah swt. dan mengagungkan-Nya.Ada pula yang mengatakan, bahwa Tauhid berarti tak ada satu makhluk pun makhluk. Sehingga tak ada yang sanggup menauhidkan Allah kecuali Allah sendiri. Sedangkan Tauhid untuk al-Haq yang datang dari makhluk adalah kekanak-kanakan. Kami katakan, bahwa apa yang mereka isyaratkan dalam hal ini adalah - hanya Allah Yang Mahatahu - firman Allah swt.:"Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan demikian). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.s. Ali Imran: 18).Allah telah memberikan kesaksian untuk Diri-Nya sendiri dengan Wahdaniyyah (Kemahaesaan) sebelum makhluk-Nya. Maka hakikat Tauhid dari sisi al-Haq adalah kesaksian Allah terhadap Diri-Nya sendiri dengan Wahdaniyyah sebelum makhlukNya. Sementara Tauhid dari sisi makhluk, adalah sebagaimana mereka menauhidkan-Nya secara hakikat dan penghayatan hati nurani (wajd), sesuai dengan kadar yang dibagikan dan dikehendaki Allah untuk mereka. Inilah firman Allah, "Para malaikat dan orang orang yang berilmu (juga menyatakan demikian)." (Q.s. Ali Imran: 18).Adapun dari cara pengakuan (ikrar), maka seluruh ummat Islam (ahlul-qiblah, pengikut para nabi) dalam hal ini adalah sama. Namun yang menjadi pedoman adalah yang ada dalam hati, dan bukan yang keluar dari lisan.Asy-Syibli - rahimahullah - mengatakan, "Seseorang tak akan mencium bau Tauhid, tatkala ia mengilustrasikan Tauhid dan menyaksikan makna-makna, menetapkan Nama-nama, menambahkan Sifat-sifat dan berbagai atribut. Barangsiapa menetapkan semua ini, maka ia adalah orang yang menauhidkan secara hukum dan formalitas, dan belum secara hakikat dan ekastase (wajd)."Makna ungkapan Asy-Syibly - dan hanya Allah Yang Mahatahu - ialah menetapkan sifat-sifat dan berbagai atribut sesuai dengan apa yang digariskan. Dan tidak menetapkannya atas dasar pengetahuan, pengertian yang sangat mendalam dan dugaan.Sementara itu, dari kalangan orang orang arif ada yang mengatakan, bahwa Tauhid adalah sesuatu yang membutakan orang yang mampu melihat, membingungkan orang yang berakal dan membuat tercengang orang yang memiliki pendirian yang kokoh.Saya katakan: Hal ini terjadi karena orang yang telah mampu merealisasikan hal itu secara hakiki, ia akan menemukan Keagungan dan Kebesaran Allah swt. dalam hatinya yang menjadikan akalnya bingung dan tercengang, kecuali mereka yang Allah swt. kokohkan.Abu Said Ahmad bin Isa al-Kharraz - rahimahullah - berkata, "Kedudukan spiritual (maqam) pertama kali bagi orang yang mendapatkan ilmu Tauhid dan mampu merealisasikannya secara hakiki, ialah ketika sirna (fana’)nya segala sesuatu dari lubuk hatinya dan hanya menauhidkan Allah Azza wajalla."Ia juga mengatakan, bahwa awal dari tanda-tanda Tauhid ialah keluarnya seorang hamba dari segala sesuatu, dan mengembalikan seluruhnya pada Dzat Yang Menguasainya. Sehingga hamba yang dikuasai-Nya terhadap Sang Penguasa, melihat segala sesuatu itu selalu dikendalikan-Nya dan Dia sangat berpengaruh di dalamnya. Kemudian mereka Dia sembunyikan dalam jiwa mereka dari jiwa mereka, Dia matikan jiwa (nafsu) mereka dalam jiwa mereka dan Dia pilih mereka untuk Diri-Nya sendiri. Inilah awal memasuki Tauhid dari segi munculnya Tauhid dengan keabadian.Syekh Abu Nashr as Sarraj - rahimahullah - berkata: Sedangkan penjelasannya - dan hanya Allah Yang Mahatahu - ialah fana’ dan tidak mengingat segala sesuatu karena hanya mengingat Allah swt. Sedangkan yang dimaksud, "keluarnya seorang hamba dari segala sesuatu" ialah dengan tidak menisbatkan sesuatu pun pada diri dan kemampuannya. Ia melihat bahwa, Penopang dan Pengendali segala sesuatu itu pada hakikatnya hanyalah Allah dan bukan mereka. Adapun makna dari ucapan Abu Said, "Sehingga hamba yang dikuasai-Nya terhadap Sang Penguasa, melihat segala sesuatu itu selalu dikendalikan-Nya," adalah memberikan isyarat penguasaan al-Haq kepadanya dan hakikat Tauhid yang diberikan, sehingga ia melihat, bahwa Penopang utama segala sesuatu adalah Allah swt., dan bukan segala sesuatu itu sendiri. Tidakkah Anda mellhat ucapan seorang penyair:Dalam segala sesuatu itu ada kesaksian yang menunjukkan bahwa Dia Maha Esa.Adapun ucapan Abu Said, "Dia sangat berpengaruh di dalamnya." maksudnya adalah bahwa corak dan warna tidak berlaku padanya dalam memandang segala sesuatu. Sebab Penopang utamanya adalah Allah Azza wajalla. Sementara itu, maksud dari ucapannya, "Mereka Dia sembunyikan dalam jiwa mereka dari jiwa mereka, Dia matikan jiwa (nafsu) mereka dalam jiwa mereka," adalah tidak lagi merasakan sesuatu dan tidak melihat adanya gerakan, baik lahir maupun batin. Dimana semuanya memberikan isyarat, bahwa pada hakikatnya sirna di bawah pengendalian Kodrat dan manifestasi dari pelaksanaan apa yang dikehendakiNya, meskipun mungkin dinisbatkan pada penyebabnya.Asy-Syibli - rahimahullah - pernah bertanya kepada seseorang, "Tahukah Anda, mengapa Tauhid tidak cocok untuk Anda?"Orang itu menjawab, "Tidak."Asy-Sylbli - rahimahullah - memberi jawaban sendiri, "Sebab Anda memintanya dengan diri Anda sendiri."Dalam kesempatan lain, asy-Syibli juga pernah berkata, "Tauhid itu tidak cocok kecuali bagi orang yang pengingkarannya adalah penetapannya."Kemudian ia ditanya tentang apa yang dimaksud dengan itsbat (penetapan) Itu? Ia menjawab, "Yang dimaksud penetapan ialah menghilangkan segala yang serba keakuan." Maknanya - hanya Allah Yang Mahatahu - bahwa seorang yang menauhidkan Allah pada hakikatnya adalah mengingkari penetapan pada dirinya. Yakni dengan menetapkan dirinya dalam segala hal dengan hati nuraninya. Misalnya seperti ucapannya, "Karena aku (saya), untukku, dariku, kepadaku dan lain-lain."Maka orang yang menauhidkan Allah, akan menghilangkan segala bentuk keakuan seperti di atas dan mengingkarinya dengan hati nuraninya, meskipun secara formalitas hal itu tetap mengalir dari lisannya.Asy-Syibli juga pernah bertanya pada seseorang, 'Anda bertauhid dengan Tauhid Basyariyyah atau Tauhid Uluhiyyah?"Laki-laki itu balik bertanya, "Apakah di antara keduanya ada perbedaan?"Asy-Syibli menjawab, "Ya."Tauhid Basyariyyah ialah rasa takut akan siksa. Sedangkan Tauhid Uluhiyyah ialah Tauhid yang penuh pengagungan (ta'dzhim). Syekh Abu Nashr as-Sarraj' - rahimahullah - menjelaskan: Maknanya adalah, bahwa di antara sifat-sifat manusia adalah meminta balasan dan selalu melihat pada pekerjaannya serta banyak berharap (tamak) kepada selain Allah Azza wa Jalla. Orang yang menauhidkan Allah dengan penuh mengagungkan-Nya tidaklah sama dengan orang yang menauhidkan-Nya karena takut akan siksa-Nya. Sekalipun rasa takut akan siksa Allah adalah suatu kondisi spiritual yang sangat terhormat.Asy-Syibli berkata, "Barangsiapa mampu melihat sebesar atom (dzarrah) dari ilmu Tauhid, maka ia tak akan mampu membawa seekor kutu, karena betapa beratnya beban yang sudah ia pikul."Tapi asy-Syibli juga pernah berkata, "Barangsiapa mampu melihat sebesar atom (dzarrah) dari ilmu Tauhid, maka ia akan sanggup membawa langit dan bumi di atas sehelai bulu matanya."Syekh Abu Nashr as-Sarraj - rahimahullah - menjelaskan: Maknanya - hanya Allah Yang Mahatahu - ialah, bahwa langit, bumi dan apa saja yang diciptakan Allah akan menjadi kecil dan hina di depan matanya tatkala ia melihat Kebesaran Allah Azza wajalla dengan mata hatinya melalui berbagai cahaya Tauhid.Suatu riwayat menyebutkan, "Bahwa malaikat Jibril a.s. memiliki enamratus sayap: Dua sayap diantamnya jika dibentangkan maka akan menutupi ujung timur dan barat."Juga diriwayatkan dalam sebuah Hadis, dari Ibnu Abbas r.a.:"Sesungguhnya rupa Jibril a.s. ketika di penyanggaan 'Kursi' laksana rantai yang ada di bagian dada baju besi."Disebutkan juga, bahwa sebenarnya, Jibril a.s., Arasy dan al-Kursi, kesemuanya ini bersama di alam Malakut, maka yang tampak pada orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan tentang Allah Azza wa Jalla (ma'rftat billah), hanyalah laksana pasir di balik alam Malakut, atau bahkan lebih kecil daripada pasir.Abu al-Abbas Ahmad bin 'Atha' al-Baghdady - rahimahullah - pernah mengemukakan pada sebagian ucapannya, "Tanda hakikat Tauhid adalah melupakan Tauhid. Sedangkan kebenaran Tauhid adalah melihat bahwa yang melakukan segala-galanya hanyalah Yang Mahatunggal."Maksudnya ialah, hendaknya seorang hamba melupakan proses tauhidnya dalam menauhidkan Allah, dengan cara melihat bahwa yang melakukan segala-galanya adalah Allah Azza waJalla sebelum makhluk Nya ada. Sebab andaikata Allah tidak menghendaki mereka demikian, tentu mereka tidak akan menghendakiNya, dan mereka tidak akan bisa menauhidkan-Nya.
Tingkatan-tingkatan Spiritual Hati (Bag 1)
Hati terdin atas tujuh tingkatan spiritual, yaitu: dada atau sanubari (shadr); hati (qalb); tempat kasih sayang makhluk, tempat pandangan, tempat kasih sayang Allah; pusat hati (suwaida); dan pusat hati yang dalam (mahjat al qalb).1. Dada (Sanubari)Tingkatan spiritual hati yang pertama disebut dengan dada atau sanubari (shadr), yang membentuk garis pembatas antara nafs dan hati. Beberapa orang menganggap sanubari berhubungan dengan nafs, yang menyebutnya juga dengan pemahaman (ra'y). Inilah pandangan yang diambil oleh Baba Rukha Syirazi, ketika dia mengatakan, "Istilah, pemahaman, pada umumnya menunjuk kepada nafs." Dalam terminologi Sufi ini adalah aspek nafs yang paling dekat dengan hati, yang salah satu aliran Sufi menyebutnya sanubari. Satu aliran Sufi menganggap dada atau sanubari merupakan tingkatan spiritual hati, sebagaimana. dimaksud oleh Najmud Din Razi, yang menulis:Tingkat spiritual hati yang Pertama disebut dada atau sanubari, yang berada dalam permata Islam (jalan keselamatan), sebagaimana yang ditunjukkan dalam ayat Al Qur'an:"Apakah orang-orang yang dibukakan dadanya oleh Allah untuk menerima agama Islam lalu ia mendapatkan cahaya dari Tuhannya .... ?" (XXXIX: 22). Apabila seseorang menemukan dirinya terhalang dari cahaya Islam, maka kegelapan dan kekafiranlah yang didapatkan, sebagaimana dalam ayat: "Akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran..." (XVI: 106). Inilah tempat godaan setan dan hasutan nafs, "yang menggoda membisikkan kejahatan ke dalam dada manusia." (CXIV: 5). Hanya pada bagian luar hati, tabir melapisi bagian hati itu, yang tidak lebih dari tempat tipu daya setan dan hasutan nafs, yang tidak dapat menembus ke dalam hati sebelah dalam, karena bagian itu adalah tempat bersemayam Allah dan merupakan pintu bagi Sifat-Sifat Allah. Godaan tidak memiliki akses ke dalanmnya, karena "Kami menjaganya dari tiap-tiap setan yang terkutuk." (XV: 17)Telah dikatakan bahwa dada atau sanubari adalah tingkatan hati, sebagaimana bagian mata yang berwarna putih untuk pupil. Inilah tempat masuk godaan, gangguan, hasrat, keinginan dan ketergantungan, yang merupakan wilayah di bawah pengaruh nafs yang memerintah (nafs ammarah), juga sebagai tempat pengetahuan dan komunikasi dari Allah dapat terdengar. Ini disebut dada, shadr (bagian depan), karena dia menyelubungi hati, yang menjadi bagian pertarna yang akan berhadapan dengan lingkungan di luar hati.Ketika Ibn 'Ata' ditanya tentang bagaimana kebersihan hati dapat diperoleh, dia menjawab, "Pertama kali dengan menyadarinya melalui kebenaran keyakinan (haqq al yaqin), yaitu Al-Qur'an. Karenanya seseorang akan dianugerahkan pengetahuan keyakinan ('ilm al yaqin), yang setelah itu akan diperlihatkan pandangan keyakinan (ain al yaqin) dan kebersihan hati akan datang. Indikasi dari hal ini adalah orang menjadi ridha dengan takdir Allah, apakah Allah memberikan kekhawatiran atau kasih sayang, dia akan melihat Allah sebagai Yang Maha Melindungi dan Yang Maha Menjaga, dan tidak menyalahkan Dia ataupun memprotesnya. Pernah ada kesabaran dalam ketertutupan hatiku,sekarang semua itu telah pergi,Cinta telah membakar tempat itudan kesabaran tinggal di dalamnya.2. Hati itu sendiriHati itu sendiri, sebagai tingkatan spiritual hati yang kedua, adalah sumber segala keyakinan, sebagaimana diperlihatkan dalam Al-Qur'an: "Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka." (LVIII: 22). Hati ini juga merupakan tempat cahaya akal: "Dan apakah mereka tidak mempunyai hati yang dengannya mereka dapat memahami..." (XXII: 46), dan pusat perenungan: "Karena sesungguhnya bukanlah mata itu buta, tetapi yang buta adalah hati yang di dalam dada." (XXII: 46). Telah dikatakan bahwa hati di dalam dada (sanubari) adalah seperti bagian berwarna gelap pada pupil mata di tengah-tengah bagian yang berwarna putih. Ini adalah tempat cahaya kekhidmatan (khusyu'), kesucian, kasih sayang, keridhaan, keyakinan, rasa takut kepada Allah, harapan, kesabaran dan kebahagiaan, dan juga merupakan sumber dasar-dasar pengetahuan. Hati untuk sanubari adalah sebagaimana air untuk sebuah kolam. Hati adalah akar, atau prinsip dasar, dan sanubari adalah cabang, atau akibat.Dalam Al-Qur'an ketika Musa berkata, "Tuhanku lapangkanlah untukku dadaku." (XX 25), Musa ingin dinding yang menutup dadanya dibukakan karena perasaan sesak yang dirasakan mengganggu dadanya, bukan hatinya. Dada adalah satu hal, dan hati adalah hal yang lain. Dada menerima informasi, sedangkan hati melihat informasi. Dada terpesona; tetapi bagaimana mungkin hati dapat mengerut, apabila ia dibuat bahagia dengan penyaksian (musyahadah) dalam kedekatan yang konstan (dengan Allah) dan dengan kebahagiaan pandangan serta buah buah penyaksian? (bersambung)
---(ooo)---Dr. Javad Nurbakhsy
Berbuat Kebaikan Kepada Sesama
Pengajian Syeikh Abdul Wahab Asy-Sya’raniD i antara akhlak mereka adalah keinginan kuat berbuat baik terhadap sesama dan membuat mereka gembira. Yang demikian itu saling di upayakan dan berlomba untuk itu.Ali bin Abu Thalib (ra) berkata: “Berbuatlah kebaikan meskipun terhadap orang yang mengingkari kebaikan sebab yang demikian itu dalam timbangan amal lebih berat."Muhammad bin Hanafiah (ra) berkata: "Pelaku kebaikan tidak mengalami kecelakaan dan seandainya mengalaminya ia tidak hancur."Ja'far bin Muhammad (ra) berkata: "Sesungguhnya Allah mengharamkan riba agar orang tidak enggan melakukan kebaikan."Muammar berkata: "Kebaikan dan kebajikan pada jaman ini telah menjadi tangga keburukan sehingga orang-orang berkata takutlah kepada orang yang kamu berbuat baik kepadanya. Semua itu dikarenakan segala sesuatu telah keluar dari apa yang seharusnya, karena dekatnya akhir zaman." Ia juga berkata: "Di antara kebaikan paling buruk adalah jika membuat orang meminta kepada anda padahal ia menahan rasa malu. Maka kebaikan anda tidak dapat menebus derita malu orang itu. Sebaiknya anda mengamati keadaan saudara anda lalu memberi apa yang ia butuhkan, jangan sampai ia terdorong meminta."Fadhil bin Iyadh berkata: "Kami tidak menganggap pinjaman sebagai kebaikan sebab pemiliknya meminta pengembalian. Kebaikan adalah memberi orang lain apa yang ia butuhkan dari anda, urusan dunia dan akhirat."Sirri as-Saqati berkata: "Kebaikan hilang dan yang ada adalah perdagangan, jika seseorang memberi agar diberi serupa."Wahab bin Munabbih berkata: "Barang siapa mengharap balasan lebih banyak dari orang yang ia beri maka ia termasuk orang yang mencurangi timbangan."Abdullah bin Abbas (ra) berkata: "Kebaikan tidak menjadi sempurna kecuali dengan tiga hal, yaitu menyegerakan, memandang kecil di mata pemberinya, dan menyembunyikan dari penglihatan orang lain."Mahlab bin Abu Shafrah berkata kepada anak-anaknya: "Setiap orang miskin yang kalian lihat mondar-mandir di depan pintu kalian maka ketahuilah bahwa orang itu sedang membutuhkan dan berilah ia dan jangan sampai ia terpaksa meminta. Cukuplah mondar-mandir itu suatu permintaan."Hasan Basri berkata: "Kami pernah menjumpai orang-orang, salah satu diantara mereka masuk rumah saudaranya padahal saudaranya itu tidak ada di rumah. Lalu ia melihat keranjang penuh dengan buah. Ia pun mengambilnya seraya memakannya tanpa izin. Ketika saudaranya (pemilik rumah; red) datang dan memberitahukan ia gembira karenanya."Muhammad bin Sirin mempunyai seekor keledai terikat di pohon dahliz. Setiap orang yang membutuhkan tunggangannya boleh mengambil dan mengendarainya tanpa izinnya karena kebaikan pemiliknya. Abdullah bin Mubarak meskipun sangat wara' dalam hidupnya, menulis dengan tinta saudaranya tanpa izin.Sekelompok orang masuk rumah Sufyan ats-Tsauri pada saat ia tidak di rumah. Mereka mengambil dan makan apa yang ada sambil duduk membicarakan keshalihan Sufyan. Dalam keadaan demikian Sufyan datang lalu menangis. Mereka bertanya kepadanya, mengapa menangis? Ia menjawab: "Bagaimana aku tidak menangis, sementara kalian menyebut keadaan orang-orang salaf dan kalian memperlakukan aku dengan akhlak orang-orang shalih padahal aku bukanlah bagian dari mereka." Baqiah bi Wahid masuk rumah kawannya ketika tidak ada di rumah dan mengambil ketel dari atas api lalu meletakkannya di depan pintu. Ia makan makanan yang ada di dalamnya dan membagikan kepada fakir miskin. Ketika shahibul bait datang ia senang karenanya dan berkata: "Semoga Allah memberi pahala lebih baik."Ja'far bin Muhammad (ra) berkata: "Seburuk-buruk saudara adalah orang yang saudaranya tidak berani membuka bungkusannya saat tidak ada di rumah dan mengambilnya, apa yang ia butuhkan tanpa seizinnya."(Saya katakan) Boleh jadi seseorang tidak melakukan itu bukan karena ia mengetahui bahwa saudaranya kikir, melainkan mengukur dengan dirinya sendiri, Wallahu a'lam.Hamid al-Laffaf berkata: "Demi Allah tidak menyangka kami akan hidup di zaman dimana seorang saudara apabila memberi sesuatu kepada saudaranya kemudian memandang dirinya mempunyai kelebihan dalam hatinya. Apabila saudaramu menampakkan kecintaan padamu maka janganlah lekas mempercayainya. Sebab saudara-saudara di zaman ini telah menjadi cepat berbalik. Apabila ada seseorang mendekatimu maka berhati-hatilah."Abdullah bin Abbas (ra) berkata: "Barang siapa memasukkan kegembiraan ke dalam hati saudara-saudaranya maka orang itu termasuk orang-orang yang selamat dari adzab Allah pada hari kiamat."Ibrahim bin Adham berkata: "Kami menjumpai orang-orang yang lebih mendahulukan saudaranya dalam hal harta benda dari pada diri mereka sendiri kecuali jika mereka lebih membutuhkan dari pada saudara mereka."Ma'an bin Zaidah berkata: "Aku tidak pernah menolak orang yang meminta kecuali jika aku mengetahui bahwa aku salah jika memberinya."Abdullah bin Abbas (ra) berkata: "Sungguh aku malu jika saudaraku mengunjungiku tiga kali tetapi tidak memberinya sesuatu." Az-Zuhri berkata: "Jika anda mempunyai keperluan kepada saudara anda maka temuilah di rumahnya sebab yang demikian itu lebih dapat menyelesaikan kebutuhan". Suatu kali seorang laki-laki berkata kepada Aus bin Kharijah: "Sesungguhnya aku datang menemuimu karena ada keperluan kecil." Ia menjawab: "Mintalah untuk itu kepada orang kecil."Hasan bin Ali (ra) bilamana dimintai suatu keperluan senantiasa segera memberinya dan berkata: "Sesungguhnya aku takut menundanya lalu ia tidak membutuhkannya lagi lalu dengan demikian aku kehilangan pahala."Muthraf bin Abdullah berkata: "Barang siapa mempunyai hajat maka tulislah di atas kertas lalu sampaikan kepadaku sebab aku tidak ingin melihat kehinaan meminta tampak di wajah seorang muslim."Fudhail bin Iyadh berkata: "Termasuk kebaikan jika Anda melihat pemberian kepada saudara anda, adalah kebaikan dari dia kepada anda bilamana ia mengambil pemberian itu dari anda. Sebab seandainya ia tidak mengambil doa dari anda, maka anda tidak mendapatkan pahala. Begitu juga ia mengistimewakan anda dengan permintaan dan harapan kepada anda kebaikan, bukan kepada orang lain." Muhammad bin Wasi' bilamana meminta seseorang suatu hajat berkata: "Kami telah menyerahkan urusannya kepada Allah, jika terpenuhi dari kedua tanganmu maka kami memuji kepada Allah dan berterima kasih kepada anda. Jika tidak terpenuhi dari kedua tangan anda maka kami memuji Allah dan meminta maaf kepada anda."Maimun bin Muhram berkata: "Apabila anda mempunyai hajat keperluan kepada seseorang maka jadikanlah utusan anda hadiah." Aisyah pernah berkata bahwa "kunci memenuhi hajat keperluan adalah hadiah."Abdullah bin Abbas (ra) berkata: "Janganlah meminta keperluan kepada seseorang di waktu malam sebab rasa malu ada pada kedua matanya." Ia juga berkata: "Barang siapa pada malam hari gelisah di atas tempat tidurnya ketika mendapat cobaan, kesusahan, atau kegalauan sehingga tidak dapat memberinya santunan maka pasrahkan hajat keperluannya pada Allah 'Azza wa Jalla." Atha berkata: "Sungguh aku benar-benar mendengar perkataan dari seseorang dan aku mengetahuinya sebelum itu dan mendengar berkali-kali, lalu aku mendengarkannya dengan baik seperti orang yang belum pernah mendengarnya sama sekali selain dari dia. Yang demikian itu karena khawatir ia malu jika aku mendahuluinya bertanya".Ibnu Abbas (ra) berkata: "Setiap orang yang masuk mempunyai rasa kaget maka sambutlah dengan ramah dan dahuluilah dengan salam". Dalam hadits dikatakan: "Janganlah masuk untuk memenuhi hajat keperluanmu ke orang yang tidak berminat memberinya." Rabi' bin Khaitsam tidak memberi orang yang meminta potongan sesuatu atau sesuatu yang pecah, tidak pula pakaian yang telah usang. Ia berkata: "Aku malu membaca catatan amalku di hadapan Allah ta'ala dan di dalamnya terdapat sesuatu yang tidak berarti yang aku berikan kepadanya."
Akhirat Pun Jadi Hijab
Mengikuti Pengajian Syeikh Abdul Qadir al-Jilany Hari Selasa Sore Tanggal 15 Dzul Qa'dah, 545 H. di MadrasahnyaDunia itu hijab bagi akhirat. Dan Akhirat itu hijab bagi Allah SWT, Tuhannya dunia dan akhirat. Semua makhluk adalah hijab dari Sang Khaliq, sepanjang hati anda berdiri menyertai makhluk dan bersamanya, berarti makhluk telah menjadi hijab antara dirimu dengan Allah SWT.Karena itu jangan berpaling pada makhluk, kepada dunia, dan kepada segala hal selain Allah Azza wa-Jalla dalam langkah rahasia hatimu dan kebenaran zuhudmu pada selain DiriNya. Anda harus telanjang dari semuanya, lebur padaNya, mohon pertolongan padaNya, dengan senantiasa memandang aturan yang berlaku dariNya padamu, pengetahuanNya untukMu.Bila telah nyata wushul hatimu dan sirrMu, anda masuk di hadiratNya, dengan kedekatanmu, rasa rendahmu, rasa malumu, kemudian Allah melimpahkan perkara di hatimu dan memerintahkan perkara itu sekaligus menjadikan dirimu sebagai dokter, pada saat itulah anda bisa berpaling pada makhluk dan dunia. Maka keberpalinganmu pada mereka merupakan nikmat yang dilimpahkan untuk mereka. Anda bisa berinteraksi dengan dunia, bekerjasama dengan mereka, untuk kepentingan fakir miskin, sedangkan bagianmu hanyalah dari sesuatu yang cukup untuk bekal ibadah dan keselamatanmu. Siapa pun yang bersama dunia seperti itu, dunia tidak akan membahayakannya, tetapi justru ia selamat dan bersih dari kotoran dunia.Kewalian itu memiliki tanda pada wajah-wajah para wali, yang hanya diketahui oleh ahli firasat ruhani. Isyarat yang berbicara dengan kewalian, bukan dengan lisan.Siapa yang menghendaki kemenangan, hendaknya mencurahkan jiwa dan hartanya bagi Allah Azza wa-Jalla, kemudian mengeluarkan makhluk dan dunia dari hatinya, seperti keluarnya rambut dari susu, begitu juga akhirat serta segala hal selain Allah.Disinilah disebut sebagai upaya memberikan hak sesuai dengan haknya di hadapanNya. Anda makan dari bagian dunia dan akhiratmu sedangkan anda ada di depan pintuNya, dunia dan akhirat menjadi pembantumu. Jangan sampai anda memakan bagian dunia sementara dunia duduk dan anda berdiri, namun semuanya ada di pintu Sang Raja, anda duduk bersimpuh dan dunia tegak berdiri. Semuanya berbakti kepada yang bersimpuh di pintu Allah swt, merendahkan diri pada orang yang teguh di pintuNya. Semuanya, berada dalam pijakan kecukupan dan kemudiaan Al-Haq Azza wa-Jalla.Kaum Sufi senantiasa rela pada Allah Azza wa-Jalla dengan habisnya dunia di tangannya, rela pula dengan akhirat, agar akhirat mendekatkan dirinya kepadaNya. Tidak ada yang dicari dari Allah swt, kecuali hanya Allah Azza wa-Jalla semata. Karena mereka tahu bahwa dunia itu sudah dibagi, lalu mereka meninggalkan ambisi duniawi, mereka tidak menghendaki selain Wajah Allah Azza wa-Jalla.Mereka juga tahu bahwa derajat akhirat dan kenikmatan syurga itu sudah dibagi pasti, mereka pun meninggalkan ambisi dan beramal demi akhirat dan syurga, sama sekali tidak berharap kecuali hanya Wajah Ilahi Azza wa-Jalla.Ketika mereka masuk syurga, mereka tidak mau membuka matanya sampai mereka melihat Cahaya Wajah Allah swt. Ia disenangkan pada nuansa Tajrid dan Tafrid (nuansa yang berada dalam kesendirian bersama Allah Ta'ala). Siapa yang hatinya tidak sunyi dari makhluk dan sebab akibat dunia, ia tidak akan mampu menempuh perjalanan agung para Nabi, Shiddiqun dan Sholihun, sampai dirinya menerima sedikit dari dunia dan menerima banyak dari tangan takdirNya. Jangan berambisi mencari yang banyak dari dunia, anda malah akan hancur karenanya, tetapi jika Allah mendatangkan yang banyak dari dunia kepadamu tanpa ambisimu, berarti anda telah terjaga dalam dunia.Dari Hasan al-Bashry ra, beliau mengatakan: "Nasehati manusia dengan pengetahuan dan ucapanmu, wahai para penasehat, nasehati manusia dengan kejernihan rahasia hatimu dan ketaqwaan hatimu. Jangan engkau nasehati mereka dengan kebaikan lahiriyah tampilanmu sementara rahasia hatimu buruk."Allah Azza wa-Jalla telah memastikan iman dalam hati orang-orang beriman sebelum mereka diciptakan. Itu di zaman Azali, dan tidak boleh berpegang pada hal-hal yang dulu, tetapi harus berjuang dan mencurahkan jiwa untuk meraih iman dan keyakinan serta meraih nafas-nafas Ilahi Azza -Wajalla, tetap teguh di pintuNya. Hati kita tetap berjuang agar iman kita teguh tetap. Jangan beranggapan, "Siapa tahu Allah swt memberikan limpahan iman tanpa kita bersusah payah." Apakah anda tidak malu memberikan sifat pada Allah dengan sifat yang anda rekayasa sendiri untuk diriNya? Apa yang kalian upayakan dibanding jerih payah para Sahabat dan Tabi'in? Tuhan Azza wa-Jalla di atas Arasy sebagaimana dikatakan, bahwa Dia tanpa ada serupa, tanpa ada rekayasa, tanpa ada nuansa fisik.Ya Allah berilah kami rizki dan berilah kami pertolongan, dan jauhkan kami dari rekayasa bid'ah, dan berilah kami di dunia kebajikan, dan di akhirat kebajikan (pula), dan lindungi kami dari azab neraka.
Sifat Kaum Sufi dan Siapa Mereka?
Syekh Abu Nashr as-Sarraj - rahimahullah - berkata: Adapun sifat sifat kaum Sufi dan siapa sebenarnya mereka, adalah sebagaimana yang pernah dijawab oleh Abdul Wahid bin Zaid - sebagaimana yang pernah saya terima - dimana ia adalah salah seorang yang sangat dekat dengan Hasan al-Bashri - rahimahullah - ketika ditanya, "Siapakah kaum Sufi itu menurut Anda?" Ia menjawab, "Adalah mereka yang menggunakan akalnya tatkala ditimpa kesedihan dan selalu menetapinya dengan hati nurani, selalu berpegang teguh pada Tuannya (Allah) dari kejelekan nafsunya. Maka merekalah kaum Sufi."Dzun Nun al-Mishri - rahimahullah - ditanya tentang Sufi, kemudian ia menjawab, "Seorang Sufi ialah orang yang tidak dibikin lelah oleh tuntutan, dan tidak dibuat gelisah oleh sesuatu yang hilang darinya." DzunNun juga pernah mengemukakan, "Orang-orang Sufi adalah kaum yang lebih mengedepankan Allah daripada segala sesuatu. Maka dengan demikian Allah akan mengutamakan mereka di atas segala-galanya."Pernah ditanyakan pada sebagian orang Sufi, "Siapa yang pantas menjadi sahabatku?" Maka ia menjawab, "Bertemanlah dengan kaum Sufi, karena di mata mereka kejelekan yang ada pasti memiliki berbagai alasan untuk dimaafkan. Sedangkan sesuatu yang banyak dalam pandangan mereka tak ada artinya, sehingga tak membuat Anda merasa bangga (ujub)."Al-Junaid bin Muhammad - rahimahullah - ditanya tentang kaum Sufi, "Siapa mereka?" Ia menjawab, "Mereka adalah kaum pilihan Allah dari makhluk-Nya yang Dia sembunyikan tatkala Dia menyukai dan Dia tampakkan tatkala Dia menyukai pula."Abu al-Husain Ahmad bin Muhammad an-Nuri - rahimahullah - ditanya tentang kaum Sufi, maka ia menjawab, "Kaum Sufi ialah orang yang mendengar sama' (ekstase ketika dzikir) dan lebih memilih menggunakan sarana (sebab)."Orang-orang Syam menyebut kaum Sufi dengan sebutan fuqara' (orang orang fakir kepada Allah). Dimana mereka memberikan alasan, bahwa Allah swt. telah menyebut mereka dengan fuqara' dalam firman Nya:"(Juga) bagi orang-orang fakir yang berhijrah, dimana mereka diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang jujur (benar)." (Q.s. al Hasyr:8). Dan firman Nya pula:"(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) dijalan Allah." (Q.s. al Baqarah: 273).Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad Nahya al-Jalla' - rahimahullah - ditanya tentang seorang Sufi. Maka ia menjawab, "Kami tidak tahu akan adanya persyaratan ilmu, akan tetapi kami hanya tahu, bahwa ia adalah seorang fakir yang bersih dari berbagai sarana (sebab). Ia selalu bersama Allah Azza wajalla dengan tanpa batas tempat. Sementara itu al-Haq, Allah tidak menghalanginya untuk mengetahui segala tempat. Itulah yang disebut seorang Sufi."Ada pendapat yang menyatakan, bahwa kata Sufi awalnya berasal dari kata Shafawi (orang yang bersih), namun karena dianggap berat dalam mengucapkan, maka diganti menjadi Shufi.Abu Hasan al Qannad rahimahullah ditanya tentang makna Sufi, maka ia menjawab, "Kata itu berasal dari kata Shafa', yang artinya adalah selalu berbuat hanya untuk Allah Azza wa jalla dalam setiap, waktu dengan penuh setia."Sebagian yang lain berkata, "Sufi adalah seseorang apabila dihadapkan pada dua pilihan kondisi spiritual atau dua akhlak yang mulia, maka ia selalu memilih yang paling baik dan paling utama." Ada pula yang lain ditanya tentang makna Sufi, maka ia menjawab, "Makna Sufi adalah apabila seorang hamba telah mampu merealisasikan penghambaan (ubudiyyah), dijernihkan oleh al-Haq sehingga bersih dari kotoran manusiawi, menempati kedudukan hakikat dan membandingkan hukum-hukum syariat. Jika ia bisa melakukan hal itu, maka dialah seorang Sufi. Karena ia telah dibersihkan."Syekh Abu Nashr - rahimahullah - berkata: jika Anda ditanya, "Siapa pada hakikatnya kaum Sufi itu?" Coba terangkan pada kami! Maka Syekh Abu Nashr as-Sarraj memberi jawaban, "Mereka adalah ulama yang tahu Allah dan hukum-hukum Nya, mengamalkan apa yang Allah ajarkan pada mereka, merealisasikan apa yang diperintah untuk mengamalkannya, menghayati apa yang telah mereka realisasikan dan hanyut (sirna) dengan apa yang mereka hayati. Sebab setiap, orang yang sanggup menghayati sesuatu ia akan hanyut (sirna) dengan apa yang ia hayati."Abu Hasan al Qannad - rahimahullah - berkata, "Tasawuf adalah nama yang diberikan pada lahiriah pakaian. Sedangkan mereka berbeda beda dalam berbagai makna dan kondisi spiritual."Abu Bakar Dulaf bin Jahdar asy-Syibli - rahimahullah - ditanya tentang mengapa para kaum Sufi disebut dengan nama demikian. Ia menjawab, "Karena masih ada bekas yang mengesan di jiwa mereka. Andaikan tidak ada bekas tersebut, tentu berbagai nama tidak akan bisa melekat dan bergantung pada mereka."Disebutkan juga bahwa kaum Sufi adalah sisa-sisa orang-orang terbaik Ahlush-Shuffah (para penghuni masjid yang hidup pada zaman Nabi saw., pent.).Adapun orang yang mengatakan bahwa nama tersebut merupakan simbol lahiriah pakaian mereka. Hal ini telah disebutkan dalam riwayat tentang orang orang yang mengenakan pakaian shuf (wool), dimana para Nabi dan orang orang saleh memilih pakaian jenis ini. Sementara untuk membicarakan masalah ini akan cukup panjang. Banyak jawaban tentang tasawuf, dimana sekelompok orang telah memberikan jawaban yang berbeda beda. Di antaranya adalah Ibrahim bin al-Muwallad ar-Raqqi rahimahullah yang memberikan jawaban lebih dari seratus jawaban. Sedangkan yang kami sebutkan, kami rasa sudah cukup memadai.Ali bin Abdurrahim al-Qannad - rahimahullah - memberi jawaban tentang tasawuf dan lenyapnya orang-orang Sufi dalam untaian syairnya:Ketika Ahli Tasawuf telah berlalu, tasawuf menjadi keterasingan, jadi teriakan, ekstase dan riwayat.Ketika berbagai ilmu telah berlalu, maka tak ada lagi ilmu dan hati yang bersinar,Nafsumu telah mendustaimu, tak ada pijakan jalan nan indahHingga kau tampak pada manusia dengan ketajaman mata, mengalir rahasia yang ada di dalam dirimu terbuka Tampaklah aktivitas dan rahasia bergururan.Di kalangan para guru (syekh) Sufi ada tiga jawaban tentang tasawuf. Pertama, jawaban dengan syarat ilmu, yaitu membersihkan hati dari kotoran kotoran, berakhlak mulia dengan makhluk Allah dan mengikuti Rasulullah saw. dalam syariat. Kedua, jawaban dengan lisanul-haqiqah (bahasa hakikat), yaitu tidak merasa memiliki (pamrih), keluar dari perbudakan sifat dan semata mencukupkan diri dengan Sang Pencipta langit. Ketiga, jawaban dengan lisanul-Haq (bahasa al-Haq), yakni mereka yang Allah bersihkan dengan pembersihan sifat-sifatnya, dan Dia jernihkan dari sifat mereka. Merekalah yang pantas disebut kaum Sufi.Saya pernah bertanya pada al-Hushri, "Siapakah sebenarnya seorang Sufi menurut pandangan Anda." Ia menjawab, "Ia adalah seorang manusia yang tidak bertempat di atas bumi dan tidak dinaungi langit. Artinya, sekalipun mereka berada di atas bumi dan di bawah langit, akan tetapi Allah-lah yang menempatkannya di atas bumi dan Dia pulaYang menaunginya dengan langit. Bukan bumi atau langit itu sendiri."Dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. diriwayatkan bahwa ia pernah berkata, "Bumi mana yang akan sanggup memberi tempat pada saya dan langit mana yang sanggup menaungiku, jika saya mengatakan tentang apa yang ada dalam Kitab Allah menurut pendapatku semata."
---(ooo)---Syeikh Abu Nashr as-Sarraj
Melihat Aib Sendiri
Diantara akhlak mereka adalah tidak mengurusi kekurangan orang lain, melainkan berkaca pada kekurangan yang ada pada diri mereka sendiri, mengamalkan Firman Allah (SWT):"Dan juga pada dirimu sendiri, maka apakah kamu lidak memperhalikan." (adz-Dzariyat : 21)Juga mengamalkan hadits: "Beruntunglah bagi orang yang mengurusi aibnya sendiri dari pada aib orang lain." Begitu pula orang yang mencari tahu aib orang termasuk golongan syetan, yaitu jauh dari rahmat Allah (SWT) dan kekasih Allah (SWT) tidak merelakan dirinya menjadi demikian.Zaid al-Qummi berkata: "Aku membaca dalam sebagian kitab suci Allah swt. berfirman: 'Hai anak Adam, aku menjadikan untukmu dua keranjang, satu keranjang di depanmu dan satu lagi di belakangmu. Keranjang yang ada di belakangmu di dalamnya adalah aib-aibmu sedangkan yang ada di depanmu, adalah aib aib orang lain. Maka jika kamu melihat yang di belakangmu tentu kamu tidak mengurusi yang di depanmu." Ia juga berkata: "Seseorang di antara kamu meyakini aibnya sendiri, namun demikian ia menyukainya dan membenci saudara sesama Muslim atas prasangka. Maka di manakah akalnya?"Bakar bin Abdullah al-Mazni berkata: "Apabila kalian melihat orang yang mengurusi aib orang lain maka ketahuilah bahwa ia adalah seorang musuh Allah swt. dan Allah swt. telah memperdayainya."Bisyr al-Hafi berkata: "Suatu hal yang mengherankan manusia jika ada seseorang yang melanggar kehormatan saudaranya di belakang tetapi di depannya menampakkan diri mencintainya dan memujinya. Barang siapa menyangka bahwa Allah swt. mencintainya, sementara ia di belakang menjatuhkan kehormatan orang lain maka ia berdusta, sebab ia hakikatnya adalah syetan dan syetan adalah musuh Allah swt."Yahya bin Muadz berkata: "Di antara keberakalan orang berakal adalah bahwa ia tidak mencela karena satu dosa. Sebab mungkin aku mencela seseorang dengan dosanya lalu aku mengalami dosa itu setelah dua puluh tahun."Dikisahkan bahwa Isa a.s. berkata: "Janganlah melihat pada keburukan orang seakan kalian yang berkuasa, tapi lihatlah keburukan-keburukan kalian. Sebab kalian adalah hamba. Sebab manusia ada dua yaitu yang mendapat cobaan dan yang selamat dari cobaan. Maka bersabarlah jika mendapat cobaan dan bersyukurlah kepada Allah swt. jika memperoleh keselamatan." Rabiah Adawiyah berkata: "Sesungguhnya apabila hamba merasakan cinta kasih Allah swt., maka dia memperlihatkan keburukan-keburukan amal perbuatannya lalu ia memperdulikannya, tidak mengurusi kesalahan orang lain."Mujahid berkata: "Seandainya sebuah gunung berbuat jahat terhadap gunung lainnya tentu yang berbuat jahat itu akan berguncang."(Saya katakan) Di antara yang seyogyanya dipahami adalah sikap berserah diri seorang hamba, kepada Allah swt. bahwa orang yang berbuat zalim akan dibinasakan dengan kezalimannya. Yang demikian itu lebih besar kebinasaamya dari pada menghadapinya dengan perlawanan keras secara lahiriah. Apabila itu ditinggalkan secara lahiriah, hadapilah dengan yang lebih keras dalam batin. Maka bagi orang yang diperlakukan tidak baik hendaknya tidak membalas dengan perbuatan yang sama melainkan memohon kepada Allah agar tidak dibalas karenanya. Wallahu a'lamAmirul Mu'minin Umar bin Khattab r.a. berkata: "Semoga Allah swt. memberi rahmat kepada orang yang mau menunjukkan keburukanku."Abdullah at-Taimi berkata: "Orang tidak mencela orang lain kecuali ia mempunyai kelebihan cela."Asy-Sya'bi berkata: "Barang siapa mencari-cari keburukan orang lain maka ia tetap tidak punya teman."Dikisahkan bahwa orang-orang datang kepada Amirul Mu'minin Ali r.a. dengan membawa seorang laki-laki yang mempunyai kesalahan sementara orang-orang di sekelilingnya banyak sekali seperti kerumunan belalang. Lalu Ali berkata kepada mereka: "Demi Allah, bahwa setiap orang yang melakukan kesalahan ini di antara kamu hendaklah pergi." Lalu mereka semua pergi. Maka peliharalah lisan Anda, saudaraku. Sebab orang yang merobek saku orang, mereka akan menyobek sakunya. Janganlah melupakan diri anda. apabila anda melihat keburukan saudara seagama anda, melainkan wajib bagi anda menjadikan itu pengingatakan keburukan anda sendiri. Sebab percikan Lumpur yang dapat mengenai orang lain, dapat juga mengenai anda. Dalam hadits dikatakan: "Barang siapa mencela saudaranya karena suatu dosa maka ia tidak meninggal dunia hingga ia melakukan dosa itu."(Saya katakan) Apabila Allah memperlihatkan anda keburukan seseorang melalui penyingkapan rahasia, maka beristighfar lah kepada Allah swt., sebab itu hakikatnya adalah penyingkapan syetan.Dermawan dan Berkepribadian Kokoh di antara akhlak mereka adalah banyak memberi dan memiliki kepribadian kuat, sebagai pengamalan akhlak Rasulullah saw., para sahabatnya, dan para 'ulama yang salih. Orang yang tidak memiliki sifat kedermawanan dan kepribadian yang kuat tidak ada padanya kebaikan meskipun orang itu ahli ibadah. Hasan Bisri pernah ditanya tentang kepribadian yang kuat, lalu ia menjawab: "Itu ialah meninggalkan yang tercela di sisi Allah swt. dan di sisi manusia." Para ulama telah sepakat mengenai keharusan berkepribadian kuat dan bersikap dermawan dalam menempuh jalan menuju kepada Allah swt. Tidak memiliki dua sifat itu adalah salah satu tanda orang munafik. Dalam hadits dikatakan, "Dan akan datang suatu masa kepada manusia di mana kepribadian yang kokoh telah menjadi langka, akhlak diabaikan dan laki-laki berhasrat pada laki-laki dan perempuan berhasrat pada perempuan. Apabila yang demikian telah ada maka nantikan adzab pagi dan sore."Amir bin Ash r.a. pernah ditanya tentang pribadian yang kokoh, apa sebenarnya? Ia menjawab: "Itu adalah memahami benaran dan bergaul dengan saudara (sesama manusia) dengan baik."Sari as-Saqati berkata: "Kepribadian kuat adalah menjaga jiwa dari kotoran-kotoran dari segala sesuatu yang mencemari pergaulan hamba di kalangan manusia serta memperlakukan manusia dengan adil dalam segala bentuk pergaulan. Barang siapa menambah dari yang demikian maka ia adalah seorang yang berlebihan."Rabiah r.a. berkata: "Tidak termasuk kepribadian kuat jika seorang pedagang mengambil keuntungan dari teman dekatnya." (Saya katakan) Sebaliknya, kepribadian kuat pada pedagang adalah jika ia rela mengambil keuntungan sedikit dari teman dekatnya, bukan tidak mengambil keuntungan sama sekali, sebab berdagang adalah mencari keuntungan duniawiah maupun akhirat.Abu Abdullah Muhammad bin Araq ditanya tentang kepribadian yang kuat, apa itu? Ia menjawab: "Adalah Anda tidak melakukan perbuatan yang membuat Anda malu di dunai dan akhirat." Abu Hurairah r.a. apabila ditanya tentang kepribadian yang kuat menjawab: "Itu adalah makan siang dan makan malam di halaman rumah bukan di dalamnya." Hasan bin Kaisam menulis pada pintu rumahnya " Barang siapa masuk makan." Kaum salaf apabila salah seorang diantara mereka meminjam ketel untuk masak maka ketika mengembalikannya diisi penuh dengan makanan. Kadang kadang pemiliknya meminjamkannya dengan diisi makan dan mengatakan bahwa ia tidak suka meminjamkannya kosong. Al-Ashmu'i pernah ditanya tentang kepribadian yang kuat ia menjawab: "Makan yang disuguhkan, lisan yang manis tutur katanya, harta yang dibelanjakan, menahan diri dengan baik terhadap dosa dan menahan perilaku menyakitkan."
---(ooo)---Syeikh Abdul Wahab Asy-Sya’rani
Aspek-aspek & Jenis-Jenis Hati
Bahwa hati lebih luas daripada ampunan Allah adalah suatu kenyataan yang menakjubkan dan sesuatu yang harus direnungkan. Jika seseorang benar-benar memahami hal ini, dia seharusnya memanfaatkan apa saja dari pemahaman ini yang layak dimanfaatkan.Seseorang harus mengetahui bahwa hati memiliki lima aspek, yaitu:
Aspek yang berhadapan langsung dengan Allah dan tidak ada perantara antara keduanya.
Aspek yang berada dekat dengan alam ruh, yang darinya hati menerima sesuatu dari Tuhannya sehingga dia mampu menerima sesuatu melalui ruh
Aspek yang merupakan bagian utama alam pikiran, yang memberikan keuntungan sampai kepada perkembangan yang berhubungan dengan Konsentrasi (jam') dan berkenaan dengan keseimbangan jasmaninya, karaktemya dan anjuran dari keadaan-keadaannya dalam kekuasaan, keberadaan dan hikmah-nya;
Aspek yang berada pada tingkat alam yang terlihat, merupakan bagian penting Nama-nama Allah, az-Zahir dan al-Akhir
Aspek yang meliputi semua hal (jami'), yang merupakan bagian utama pada Keesaan Konsentrasi (ahadiyat al-jam), merupakan derajat yang berada satu tingkat di bawah derajat Ketuhanan (huwiyah) dan ditandai dengan sifat keunggulan, keterakhiran, kejasmanian dan kerohanian.
Setiap aspek memiliki ruang perwujudan dalam kehidupan manusia. Bentuk hati dalam konsentrasi dan wujudnya adalah Rasulullah, karena perkembangan jiwanya merupakan titik pusat lingkaran eksistensi. Kelima aspek Rasulullah berhubungan dengan setiap alam, wilayah atau derajatnya, yang berkaitan dengan perintah-perintah dan diwujudkan dengan karakter masing masing seperti yang diperlihatkan di atas. Jenis jenis HatiRasulullah menyatakan, "Ada empat jenis hati, yaitu: hati yang bersih dan bercahaya yang di dalamnya bagaikan ada sebuah lampu yang menerangi, inilah hati orang-orang yang beriman; hati yang hitam dan sesat, adalah hati orang-orang yang ingkar; hati yang menggantung, yang melayang-layang antara keingkaran dan keimanan, merupakan hati munafik; dan hati yang bermuka dua, dengan satu wajah mengarah pada keimanan dan wajah yang lain mengarah kepada keingkaran. Keimanannya didukung oleh alam kesucian dan kesalehan, bagaikan sebuah tanaman yang dibersihkan dengan bantuan air, sedangkan keingkarannya didukung oleh alam kejahatan, bagaikan sebuah borok yang diperparah dengan luka bernanah. Akhimya, apa pun yang mendominasi dia akan mengendalikannya.”Perbedaan antara keempat jenis hati ini terjadi karena hati merupakan produk dari ruh dan nafs, dan mendapat tarikan dari keduanya. Ruh ingin menarik nafs ke dalam lingkungannya dan begitu juga sebaliknya, dan keduanya senantiasa terlibat dalam peperangan. Kadang-kadang ruh mendominasi, yang membawa nafs keluar dari tempatnya yang rendah menuju ke tingkat perkembangan ruh yang lebih tinggi. Kadang-kadang nafs memenangkannya, yang membawa ruh jatuh dari ketinggian kesempurnaan menuju kepada kesalahan yang dalam. Hati selalu mengikuti bagian yang dominan sampai otonomi kehidupan seseorang digerakkan dalam salah satu tadi atau oleh yang lain, yang kemudian hati akan mendiaminya.Situasi situasi itu melibatkan peralihan yang teratur antara kebahagiaan dan kesengsaraan. Jika kebahagian ukhrawi dan kepuasan azali tiba, ruh menjadi kuat dan mengalahkan nafs serta balatentaranya, dan terbebas dari pergulatan tersebut. Ruh naik dari titik ciptaan yang rendah menuju ke titik Keabadian yang tinggi, beralih menjauhi nafs dan hati menuju pada kesaksian (musyahadah) terhadap wilayah Yang Mahakuasa. Selain itu, hati dalam mengikuti perkembangannya dari tingkat perkembangan hati, yang padanya perubahan (taqallub) merupakan suatu keharusan, menuju ke tingkat perkembangan ruh dan mendiami tempat ruh berada, bagaikan seorang anak kecil yang mengikuti ayahnya.Nafs, yang juga mengikuti hati seperti seorang anak kecil, muncul dari tempat dia berada, alam sifat-sifat kebendaan, dan mengikuti perkembangan hati. Hati yang seperti itu adalah hati orang orang beriman yang baginya tak ada lagi unsur unsur politeisme atau kekafiran. Allah melarang, jika situasi bertolak belakang dengan hal tadi, pengaruh-pengaruh penderitaan dan kesengsaraan azali didapatkan, yang bisa membuat ruh tersesat dan hanya akan memperkuat nafs. Hati akan menggerakkan ruh kepada alamnya sendiri; ruh akan turun dari tingkat perkembangannya ke tingkat perkembangan hati, hati akan berkembang dari tingkat perkembangannya ke wilayah nafs; dan nafs akan turun dan mengakar di dalam lingkungan sifat kebendaan. Hati yang seperti ini menjadi hati orang yang ingkar, yaitu orang yang sesat, yang tenggelam ke dalam gelapnya kekafiran. Jika tak ada bantuan dan tarikan sebagaimana adanya, dan dengan nafs yang kuat, hati akan terombang-ambing di tengah, tetapi lebih cenderung ke arah nafs. Inilah hati orang yang bersikap munafik. Jika ruh lebih kuat, atau jika tarikan dari ruh dan nafs sama, maka hati lebih cenderung ke arah ruh, atau bersikap netral berkenaan dengan kedua bagian itu, dan keimanan serta keingkaran tetap ada di dalanmya. Inilah hati yang bermuka dua, orang yang memiliki keimanan dan di sisi lain juga bersikap munafik. Hatim Assam berkata, "Hati terdiri dari lima jenis, yaitu hati yang mati, hati yang sakit, hati yang lalai, hati yang tertutup dan hati yang bersih. Hati yang mati adalah hati yang ingkar, hati yang sakit adaIah hati yang senantiasa berbuat dosa, hati yang lalai adalah hati yang gagal, dan hati yang tertutup adalah hati orang orang yang senantiasa berbuat kejahatan: 'Mereka berkata: Hati kami tertutup' (11: 88), dan hati yang bersih adalah hati yang sadar dalam tindakan-tindakannya, disibukkan dengan ketaatan dan ketakutan terhadap Sang Raja Yang Mahakuasa." Sari Saqati berkata, "Lidahmu adalah penyambung dari hatimu, dan wajahmu adalah cerminan darinya. Pada wajahmu ditemukan apa yang ada di dalam hatimu."Ia juga berkata, "Ada tiga jenis hati, yaitu: hati seperti gunung yang tidak dapat bergerak; hati seperti pohon yang tertanam pada akarnya tetapi dapat bergoyang ke mana-mana karena angin; dan hati seperti seekor burung yang terbang ke mana saja yang dia inginkan.Selanjutnya ia mengatakan, " Hati orang yang berbudi berhubungan dengan ketegasan dan kedekatan pada Allah menuju pada kedudukan yang tinggi." Inilah yang dikatakan bahwa kebaikan dari orang-orang yang berbakti adalah pegangan bagi kedekatan, dalam hal ini kebaikan menjadi pegangan apabila seseorang mendapatkan kepuasan melalui kebaikan tersebut, dan apa pun yang memberikan kepuasan diri akan menghambat perkembangan hati.Orang-orang yang berbakti adalah mereka yang telah menempatkan dirinya di dalam surga, sebagaimana yang diperlihatkan dalam Al-Qur'an, Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan." (LXXXII: 13). Oleh karena itu hatinya akan berhubungan dengan tujuan akhir. Sebaliknya, pandangan orang yang maju, mereka yang dekat kepada Allah, terpusat pada yang azali, yang tidak akan pernah menempatkan dirinya pada apa apa yang dapat mereka raih. Oleh sebab itu, karena tidak menempatkan dirinya pada apa pun, mereka akan tertarik ke dalam surga.
---(ooo)---Dr. Javad Nurbakhsy
Khalwatlah yang Benar
Mengikuti Pengajian Syeikh Abdul Qadir al-JilanyHari Jum'at pagi tanggal 21 Dzul Qa'dah tahun 545 H, di Madrasahnya.Ya Allah, berilah kami rizki mencintaiMu dengan ampunan dan kesejahteraan….Bagian rizkimu, oleh Allah sudah dititipkan di dunia sampai waktu tertentu, tanpa bisa dihalangi oleh siapapun, ketika Dia menyerahklan kepadamu. Ini bisa menjadi bahan tertawaan, jika belum waktunya diserahkan, lalu engkau paksa untuk engkau raih, tanpa izin dari Allah Azza wa-Jalla.Wahai kaumku, bila engkau berpaling dari pintu dunia dan menghadap pada pintu Allah Azza wa-Jalla pasti bisa anda lakukan, dan carilah kecerdasan dari Allah Azza wa-Jalla.Bila kau hadapkan dunia ini pada para Wali Allah, mereka akan berkata pada dunia itu, "Lewatlah, pergilah, karena kami benar-benar sudah tahu siapa anda, karena itu jangan menguji kami dengan dunia itu. Jangan menampakkan dirimu pada kami, karena uangmu tampak bagus, dan kau amburkan dalam riasan berhala yang kosong dari kayu, tanpa ada nyawa di dalamnya. Engkau adalah tampak, tapi tidak bermakna. Bisa dilihat tetapi tidak bisa bicara, sedangkan yang bicara hanya untuk akhirat."Ketika cacat-cacat dunia tampak dimata kaum Sufi mereka lari dari dunia, dan ketika cacat-cacat kelemahan makhluk tampak di mereka, justru mereka menghilang dari makhluk, mereka menikmati kesunyian di padang sahara, gua-gua, kesunyian-kesunyian. Saat itu pula kadang Jin dan kadang malaikat datang, dengan rupa yang menyerupai pakaian dirinya, kadang menyerupai ahli zuhud berjubah, kadang menyerupai binatang buas.Seorang penempuh yang benar, sama sekali tidak menghiraukan ucapan-ucapan makhluk-makhluk itu, dan ia hanya menginginkan Allah Azza wa-Jalla, tidak pula hatinya memandang sedikitpun pandangan dunia. Ia pun tak mampu memandang para makhluk lagi karena akalnya sirna, hatinya lebur, sampai datangnya suatu Rahmat di atas kepala hatinya, yang menyebabkan rasa tenteram. Ia terus seperti dalam mabuk Ilahi dalam taqarrub, hingga ia mulai sadar normal kembali.Baru setelah tauhid dan keikhlasannya mandiri, kema'rifatannya kuat, kecintaannya kepada Allah, baru ia menggunakan kembali pakaian normalnya dan terjun di khalayak. Ia diberi kekuatan oleh Allah dan seluruh beban dipikulnya tanpa rasa lelah dan letih. Seluruh aktrivitasnya hanya dalam rangka membangun kebaikan terhadap sesama, dan agar mereka menjadi saleh, tetapi ia sama sekali tidak pernah menolehkan hatinya selain kepada Allah Azza wa-Jalla. Orang yang berlatih zuhud di awalnya menghindari makhluk. Orang Zuhud yang sempurna justru bersama makhluk. Karena yang dipandang hanya Allah, dan tidak peduli siapa pun, karena yang ada hanya Allah, tidak takut dengan apa pun atau siapapun. Orang zuhud pemula menghindari kaum maksiat dan kaum fasik, dan mereka yang sudah sempurna justru mencari mereka. Bagaimana ia tidak mencari mereka? Karena obat kefasikan dan kemaksiatan dibawa oleh Sang Zuhud ini. Karena itu ada ucapan Sufi - semoga Allah merahmatainya - "Tidak ada yang tersenyum melihat wajah kaum fasik kecuali orang yang sudah ma'rifat kepada Allah."Siapa pun yang sempurna ma'rifatnya kepada Allah Azza wa-Jalla, ia telah menjadi penunjuk bagi makhluk ketika mengarungi lautan dunia, karena dia telah memberikan kekuatan untuk mengusir Iblis dan pasukannya.Nah, sekarang, wahai orang yang zuhud dengan kebodohannya, kemari dan dengarkan apa yang aku katakan. Wahai para zuhud di muka bumi, kemari kalian, mendekatlah padaku. Kalian telah duduk dalam khalwatmu tanpa dasar yang jelas. Kemarilah, petiklah buah-buah hikmah, dan semoga Allah merahmati kalian. Saya tidak butuh kedatangan kalian padaku, tetapi aku hanya ingin menyelamatkanmu.Anak-anak sekalian….Anda punya kebutuhan yang melelahkan, sampai anda belajar berkreasi membangun. Seribu kali anda robohkan bangunan itu, sampai anda tidak lagi merobohkannnya, karena perbaikan demi perbaikan. Bangunan Allahlah yang tak pernah roboh dalam dirimu.Wahai kaum… Kapan kalian berfikir, kapan kalian menemukan, dimana segalanya bermula? Berkelilinglah wahai yang berhasrat kepada Allah Azza wa-Jalla. Bila kalian bersama mereka yang berhasrat itu, berbaktilah dengan harta dan jiwamu. Para Murid yang benar senantiasa ada tanda Cahaya di romannya, tetapi karena ada bencana dalam dirimu, di mata hatimu di pemahamanmu yang sakit, sampai kalian tidak bisa membedakan antara seorang shiddiqun dan seorang yang zindiq, antara halal dan haram, antara yang dicampur racun dengan yang bukan, antara orang musyrik dan bertauhid, antara mukhlis dan munafiq, antara yang maksiat dan yang taat, antara yang berhasrat pada Al-Haq Ta'ala dengan yang berambisi pada makhluk. Karena itu berkhidmalah kepada para Syeikh yang mengamalkan ilmunya, sampai mereka mengenalkan dirimu berbagai hal yang sesuai dengan kenyataannya.Bersungguh-sungguhlah dalam ma'rifat kepada Allah Azza wa-Jalla. Sesungguhnya jika engkau mengenalNya, engkau akan kenal dengan selain Dia (makhluk), lalu kenalilah Dia, dan Cintailah Dia. Bila kalian melihat dengan mata kepalamu maka lihatlah pula dengan matahatimu. Jika kamu melihat nikmatNya segeralah mencintaiNya. Sebagaimana dalam hadits:"Cintailah Allah karena konsumsi yang Dia memberikan NikmatNya kepadamu, dan cintailah aku, maka Allah mencitaimu karenaku." (Hr Tirmidzi dan Thabrani..)Allah telah memberikan makan padamu, ketika dirimu masih berada di kandungan ibumu dan ketika keluar dari kandungan, lalu diberi rizki kekuatan dan ketaatan kepada Allah, kalian dijadikan muslim, mengikuti jejak Nabi SAW. Karena syukur dan cintanya sebagaimana CintaNya dan penerimaan syukur hambaNya.Bila telah melihat nikmatNya pasti hilang rasa cinta kepada makhluk. Sang Arif kepada Allah Azza wa-Jalla, adalah pecintaNya, yang senantiasa memandangNya dengan hatinya yang memandang kebaikan dan keburukan dariNya, sama sekali baik dan buruk tidak dari makhluk. Bila yang terlihat adalah kebaikan, ya pandang kebaikan itu karena anugerah Ilahi, bila yang muncul adalah keburukan, ia pandang keburukan itu karena sifat Kuasa KerasNya. Pandangannya senantiasa pindah dari makhluk ke Khaliqnya. Dan karenanya, hukum menjadi haknya dan hukum tidak gugur.Hati seorang 'arif senantiasa berpindah dari situasi ruhani ke situasi ruhani yang lebih tinggi, sampai zuhudnya kuat di tengah makhluk, dan hatinya meninggalkan mereka, dan lebih mencintai Sang Khaliq Azza wa-Jalla, dengan penuh ketawakalan. Ketika akalnya berpadu antara makhluk, maka akan bertambah kecerdasannya yang lain, yaitu akal dari Allah Azza wa-Jalla.Wahai orang yang sangat butuh terhadap sesama makhluk, yang bergelut dengan mereka, ingatlah kalian akan datangnya maut. Allah tidak membuka pintuNya bagi ruhmu, dan tidak memandang pada ruhmu, karena Dia marah disebabkan kemusyrikan di hatimu, mengandalkan selain DiriNya.Karena itu sudah waktunya anda khalwat dari nafsumu, lalu khalwat dari sesama makhluk, lalu khalwat dari dunia, kemudian khalwat dari akhirat, dan terakhir khalwat dari segala hal selain Allah Azza wa-Jalla. Bila engkau hendak khalwat di sisiNya, maka khalwatlah dirimu dari wujudmu, dari keinginganmu mengatur dirimu dan hasratmu.Tetapi celakalah kamu, ketika dirimu duduk di kamar kesendirianmu sedangkan hatimu justru menunggu datangnya makhluk, hadiah dan kebaikan mereka, maka waktumu tersia-siakan. Anda jadikan dirimu hanya rupa tanpa makna. Jangan rasakan kenyamanan dirimu pada suatu hal, yang oleh Allah memang tidak dianugerahkan kenyamanan. Karena sesungguhnya anda tidak bisa dapatkan kenyamanan itu dari diri anda maupun dari sesama, melainkan dari Allah Azza wa-Jalla. Maka, jika masih ada yang lain selain Allah dalam khalwatmu, hanya akan berkhalwat sia-sia saja.Ya Allah berikan manfaat kepadaku atas apa yang kuucapkan, dan memberikan manfaat kepada mereka atas ucapanku, lalu mereka benar-benar menyimaknya.
Mengukuhkan Adanya Tasawuf
Pengajian Syeikh Abu Nashr as-SarrajKeterangan Tentang Kebenaran dan Argumentasinya Syekh Abu Nashr as-Sarraj' - rahimahullah - berkata: “Ada sekelompok orang yang hanya memahami segala sesuatu secara lahiriah telah mengingkari adanya ilmu batin (tasawuf). Mereka berkata, ‘Kami tak tahu ilmu lain selain ilmu syariat yang zhahir yang dibawa oleh al-Qur'an dan Sunnah’. " Mereka juga berkata, "Pendapat Anda yang menyatakan adanya ilmu batin dan ilmu tasawuf tak memiliki bobot makna apa-apa."Maka kami perlu menjawabnya - semoga Allah memberi taufik pada kita. Sesungguhnya ilmu syariat adalah suatu disiplin ilmu dan suatu nama yang mengandung dua makna: riwayat (narasi) dan dirayat (pemahaman). Jika Anda telah mengumpulkan dua makna tersebut, maka itu adalah ilmu syariat yang mengajak pada berbagai amal, baik lahiriah maupun batiniah. Dan memang tidak sepantasnya jika kita berbicara tentang ilmu untuk dibeda-bedakan menjadi ilmu batin dan ilmu zhahir. Sebab apabila ilmu itu berada dalam hati nurani, berarti ilmu batin sampai ia muncul dalam ucapan. Dan jika telah muncul dalam bahasa lisan maka itulah ilmu zhahir.Hanya saja kami tetap perlu mengatakan, bahwa ilmu itu ada yang batin dan ada yang zhahir. Ilmu itu tak lain adalah ilmu syariat yang menunjukkan dan mengajak untuk melakukan aktivitas (amal) lahiriah dan batiniah. Sedangkan apa yang disebut dengan amal zhahir adalah aktivitas anggota tubuh yang menyangkut ibadah dan hukum. Adapun yang menyangkut ibadah adalah seperti masalah bersuci, shalat, zakat, puasa, haji, jihad dan lain-lain. Adapun yang menyangkut hukum adalah seperti hudud (hukum pidana), talak, pemerdekaan budak, jual beli, fara'idh (warisan), qishas (hukum pembalasan) dan lain lain. Ini semua berkaitan dengan anggota badan bagian luar. Adapun yang berhubungan dengan aktivitas batiniah adalah seperti perbuatan hati, yang berupa kedudukan dan kondisi spiritual, seperti tashdiq (pembenaran), iman, yakin, jujur, ikhlas, ma'rifat, tawakal, mahabbah (cinta), ridha, dzikir, syukur, inabah (kembali kejalan Allah: tobat), khasyyah (takut), takwa, muraqabah (menjaga hati nurani), fikrah, i'tibar (mengambil pelajaran), khauf (takut siksa), raja' (berharap rahmat Nya), sabar, qana'ah (puas atas bagian yang diberikan), taslim (tunduk), tafwidh (pasrah), qurb (mendekatkan diri kepada Allah), syauq (rindu), wajd (suka cita dengan Allah), wajal (takut), huzn (sedih), nadm (menyesal), haya' (malu), khajal (malu), ta'zhim (mengagungkan), ijlal (memuliakan) dan haibah (sungkan karena kewibawaan Nya). Masing masing aktivitas, baik yang bersifat lahir maupun batin ada ilmu, keterangan, fiqih, pemahaman, perasaan hati dan hakikatnya tersendiri.Sementara itu, masalah kebenaran amal lahiriah maupun batiniah selalu didukung oleh argumentasi ayat ayat al-Qur'an dan Hadis-hadis Rasulullah saw. yang hanya bisa diketahui oleh orang yang mengerti dan tidak akan terungkap oleh mereka yang tidak tahu.Apabila kami mengatakan tentang ilmu batin, maka yang kami maksudkan adalah ilmu tentang aktivitas batin yang merupakan anggota badan yang batin, yakni hati. Sebagaimana jika kami katakan ilmu zhahir, maka yang kami maksudkan adalah ilmu tentang aktivitas zhahir yang menyangkut semua anggota yang lahir, yaitu seluruh anggota badan. Allah swt. berfirman, "... dan Dia menyempurnakan untukmu nikmat Nya lahir dan batin." (Q.s. Luqman: 20). Nikmat lahiriah ialah apa yang Allah karuniakan pada anggota badan yang lahir untuk berbuat taat. Sedangkan nikmat batin adalah berbagai kondisi spiritual yang Allah karuniakan pada hati. Dan tentu saja yang zhahir tidak bisa lepas dari yang batin, dan begitu sebaliknya, yang batin juga selalu membutuhkan yang zhahir. Allah swt. berfirman: "Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)." (Q.s. an-Nisa': 83).Sedangkan ilmu yang diperoleh dengan cara istinbath adalah ilmu batin, yaitu ilmu yang dimiliki orang-orang Sufi. Sebab mereka memiliki berbagai hasil istinbath dari al-Qur'an, Hadis dan lain lain. - Sebagian dari masalah ini akan kami bahas kemudian, Insya Allah.Dengan demikian, maka ilmu itu ada ilmu zhahir dan ilmu batin. Al Qur'an adalah zhahir dan batin, Hadis Rasulullah saw. juga zhahir dan batin. Begitu pula Islam, zhahir dan batin. Sementara itu sahabat sahabat kami dari kaum Sufi dalam memahami makna makna tersebut juga memiliki dalil dalil dan argumentasi dari al-Qur'an, Sunnah dan akal (rasional). Dan untuk menerangkan hal ini akan sangat panjang dan akan keluar dari uraian ringkas yang kami maksudkan. Maka apa yang kami kemukakan bisa dianggap cukup - Dan semoga Allah memberi taufik kepada kita.
Hikmah, Tauhid, dan Tasawuf
Kajian atas Visi AttaillahSebenarnya, paket studi tasawuf kali ini merupakan lanjutan yang sifatnya pendalaman dari kajian-kajian terdahulu. Oleh karena itu, kita memfokuskan kajian ini untuk memahami satu visi, yang dikenal dengan visi Ataillah. Di dalam tasawuf dikenal dan dibahas, misalnya visi Hallajiyah, visi Ibnu Arabiyah, visi Gazaliyah, dan visi Ibnu Taimiyah. Yang dibahas saat ini adalah visi Attaillah. Pendiri tasawuf 'Attaiyah ini adalah Attaillah. Lengkapnya, ada yang membaca al-Sakandari dan ada yang membaca al-Iskandari karena orangnya mukim di Iskandaria, Mesir, yaitu satu kota wisata yang dahulunya kota tasawuf. Sebelum menjadi kota tasawuf Iskandaria adalah kota filsafat di zaman Romawi, jadi berkembang dari kota tasawuf menjadi kota wisata, yang jauh lebih bebas daripada Pantai Kute, Bali.Memang benar bahwa Attaillah adalah seorang ulama terkenal di dunia tasawuf, bahkan karyanya yaitu al-Hikam, dikenal di seluruh dunia Islam. Ia wafat pada tahun 1309 (abad ke 14 M); makamnya ada di Kairo, Mesir; dan masih ramai dikunjungi orang. Buah karya dari Syekh Attaillah ini, salah satu cirinya adalah puitis. Jadi, al-Hikam itu boleh dikatakan merupakan himpunan hikmah-hikmah yang digubah secara puitis dan indah. Pembicaraannya berkisar masalah tasawuf karena memang tasawuf itu sendiri sebenarnya adalah suatu keindahan.Kemudian, di dalam dunia modern ini disebutkan adanya salon-salon kecantikan. Tetapi, salon kecantikan yang kita coba kaji sekarang ini adalah salon kecantikan hati nurani. Salon kecantikan hati nurani itu adalah tasawuf. Jadi tasawuf, saya gambarkan sebagai gedung. Dan, di dalam gedung tasawuf itu ada orang-orang yang ingin memperindah hati nuraninya, mempercantik, mempersolek, dan masuk di situ untuk dirawat.Di dalam gedung itu berisi orang-orang profesional, yang dalam istilah tasawufnya disebut "Mursyid". Mursyid adalah orang-orang profesional, perawat kecantikan hati nurani. Mursyid yang profesional yang termasur di antaranya adalah Imam al-Hasan al-Syadzili, guru Ataillah al-Sakandari. Mereka, para profesional salon kecantikan (Mursyid) itu tidak berasal dari satu aliran saja. Tiap-tiap aliran itu mempunyai metode-metode tertentu. Jadi, kalau dalam salon kecantikan itu - dalam arti salon biasa - ada metode metode dari Paris, London dan Tokyo, maka model rambut pun berbeda-beda, bahkan sampai kepada bedak yang dipakai itu juga berbeda-beda. Begitu pula, sebenarnya kalau kita umpamakan dengan dunia tasawuf, memiliki metode-metode yang berbeda beda. Metode-metode ini namanya "tarekat". Misalnya, ada tarekat Syadziliyah, yang berarti metode Imam al-Syadzili di dalam merawat kecantikan hati nurani; ada tarekat yang namanya Iskandariyah; ada tarekat Rifaiyah, dan banyak macam. Di Indonesia saja ada sekitar 40 macam tarekat. Jadi gambarannya seperti itu.Metode memperindah dan mempercantik hati nurani, atau dalam bahasa tasawuf disebut "qalbu", jelas bermuara pada upaya mendapatkan pedoman hidup. Yang menjadi pertanyaan pokok adalah, di mana seseorang mendapatkan pedoman hidup sehingga hidupnya teratur dan diridlai oleh Allah SWT.?Di dalam buku al-Hikam karya Syekh Ataillah - yang dikaji ini - dihimpun hikmah-hikmah atau kata-kata hikmah. Yang dimaksud dengan kata-kata hikmah itu adalah kata-katanya ringkas dan padat arti. Dengan demikian, kelebihan al-Hikam adalah karena memakai rumus puitis, misalnya:“Nuqshon al rajaa' 'inda wujuud al zalal”.Jadi, memakai sajak dan enak didengarkan. Ini adalah pembuka dari buku al-Hikam. Ataillah, dalam rangkaian kata-kata puitis tersebut berbicara tentang hubungan antara kerja dan harapan. Al-amal berarti kerja dan al-rajaa' berarti harapan. Bagaimana hubungan antara harapan dengan kerja, atau sebaliknya, bagaimana hubungan antara kerja dengan harapan, atau bagaimana interaksi antara harapan dengan kerja? Ia memulai pembicaraan dari situ. Ini satu kata-kata hikmah, singkat tetapi sarat isi. Oleh karena itu, kita harus mengkaji lebih jauh, apa itu "amal" dan apa itu "harapan".Al-zalal itu pedomannya, tetapi saya belum mengkaji sampai ke sana, hanya memberi gambaran. Di sini, kita akan berbicara tentang moral dan akhlak sebagai pedoman hidup dalam kaitannya dengan al-Hikam. Dalam hal ini, ungkapan pertama dan isi dari al-Hikam, yaitu tasawuf.Namun, di dalam rangka membicarakan moral dan akhlak sebagai pedoman hidup, maka yang terlebih dahulu dikaji adalah mengenai hikmah, mengenai tauhid, dan mengenai tasawuf. Jadi paket kita adalah "Hikmah, Tauhid, dan Tasawuf", sehingga kita harus mengerti kata-kata hikmah, tauhid, dan tasawuf.Kata "hikmah" ditemukan sebanyak 20 kali di dalam Al-Qur'an. Salah satu ayat yang paling menonjol adalah Qs. al Baqarah, 2: 269, "Yu'ti al-hikmata man yasyaa' wa man yu'ta al-hikmata faqad uutiya khairan katsfiran" (Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak). Jadi, memang kata-kata hikmah ini diungkapkan. Akan tetapi, ada lagi tambahan bahwa pengertian kata-kata hikmah adalah ahkama yuhkimu. Sebelum menjadi ahkama yuhkimu, maka mujarat tsulaatsinya berdasarkan pada sharaf (gramatika Bahasa Arab)nya adalah hakama yahkumu, kemudian menjadi ruba'i, yaitu ahkama yuhkimu, masdarnya adalah hikmah. Ahkama berarti memperkukuh, memperkuat, sedangkan hakama artinya menetapkan, menetapkan sesuatu, atau memutuskan. Oleh sebab itu, ada istilah hakim. Hakim itu adalah bahasa Arab, kemudian menjadi bahasa Indonesia. Hakim artinya seseorang yang berwenang menetapkan sesuatu, memberikan vonis. Kemudian, proses lanjutan adanya hakim yaitu adanya hukum, adanya hukuman, adanya kepastian hukum, dan sebagainya.Berbicara mengenai dunia hukum adalah berbicara mengenai dunia kepastian. Jadi, adanya kepastian itu memang diperlukan sebagai satu pedoman hidup. Orang yang hidupnya stabil adalah orang yang mempunyai kepastian. Orang yang tidak mempunyai kepastian akan terombang-ambing di dalam hidupnya, mudah dipermainkan oleh segala macam godaan. Dengan demikian, orang yang mempunyai kepastian pandangan hidup adalah orang yang bersikap kukuh di dalam kepastian yang dia pegang. Itulah orang yang sukses hidupnya dalam pandangan tasawuf. Tegasnya, orang yang memiliki keyakinan begitu kuat, sehingga tahan banting maka ia termasuk di dalam kategori yang namanya istiqaamah. Arti istiqaamah adalah kontinuitas, berkesinambungan beramal, atau konsisten betul.Jadi, itulah yang menyangkut tambahan pengertian saya mengenai kata "hikmah". Dan, semuanya tergambar di dalam butir-butir kitab al-Hikam. Himpunan hikmah-hikmah ini adalah salah satu buku standar di dalam ilmu tasawuf dan ini digunakan oleh dunia Islam di mana pun. Bahkan, banyak ilmuan yang hafal kitab al-Hikam ini. Terakhir yang memberikan komentar yang up to date adalah Syekh Abdullah al-Syarkawi, salah seorang mufti di Mesir. Kira kira dua ratusan tahun yang lalu. Yang up to date syarahnya dan sekarang ditulis oleh Prof. Dr. Abdul Halim Mahmud, Syekh al-Azhar yang telah wafat. Dia adalah guru Prof. Dr. M. Quraish Shihab. Dia adalah syekh al-Azhar. Di al-Azhar itu ada dua jabatan, yaitu Syekh al-Azhar dan Rektor al-Azhar. Syekh al-Azhar lebih tinggi daripada Rektor al-Azhar. Rektor itu hanya mengurusi soal administrasi, sedangkan syekh adalah tokoh ilmuwannya. Syekh al-Azhar itu di dalam protokoler negara Mesir sama dengan perdana menteri. jadi, terhormat sekali.Sebenarnya, kitab al-Hikam adalah satu buku standar di dalam ilmu tasawuf. Tasawuf itu diibaratkan satu gedung yang indah, di dalamnya merupakan satu salon kecantikan untuk merawat kalbu atau hati nurani. Hasil rawatannya itu disebut akhlaaq kariimah (moral yang luhur). Akhlak bisa mulia atau indah dan bisa buruk atau jahat. Begitu juga dengan moral, ada moral luhur dan ada moral bejad. Jadi, moral itu acuannya, ada yang baik tetapi ada juga yang buruk. Begitu juga akhlak, ada akhlak yang mulia atau akhlaaq kariimah dan ada akhlak yang buruk atau akhlaq radii'ah. Kemudian, ada istilah lain yang dipakai yaitu akhlaaq mahmuudah (moral yang terpuji) dan lawannya yaitu akhlaaq mazmuumah (moral yang tercela).Akhlaaq (akhlak), padanannya di dalam bahasa asing adalah moral dan di dalam bahasa Indonesia adalah perilaku atau kelakuan. Kalau bahasanya yang dianggap modern adalah moral. Bahasa agamanya adalah akhlaaq. Dalam hal ini, baik moral, perilaku maupun yang namanya akhlak' merupakan wujud sesuatu kondisi mental, yang dalam bahasa Arabnya disebut "haiatun fii al-nafsi". Bahkan, ditambahkan oleh para pakar dengan "haiatun raasihatunfii al-nafsi", yakni satu kondisi yang mantap yang mempengaruhi perilaku (moral). Dengan ungkapan lain, suatu kondisi mental yang mantap yang mempengaruhi moral orang. Jadi, kalau yang mantap itu keburukan maka mentalnya menjadi buruk. Kalau yang mantap itu kebaikan maka moralnya menjadi luhur atau baik. Begitulah kondisi mental yang namanya moral. Dan, itu pula sebenarnya yang menjadi objek garapan dari ilmu tasawuf.Untuk memudahkan penggambaran di atas, saya ingin memakai istilah dokter. Di dalam dunia kedokteran, seorang dokter selalu ingin menciptakan suatu kondisi kesehatan di dalam diri manusia. Dokter-dokter itu membantu menciptakan kondisi sehat di dalam diri manusia. Pada dasarnya, manusia itu sehat tetapi karena berbagai faktor, misalnya, bisa dari faktor makanan, lingkungan dan bisa dari faktor air, maka kemudian manusia menjadi tidak sehat. Demikian pula halnya dengan kondisi mental manusia yang pada dasarnya adalah baik. Hal ini ditegaskan di dalam QS. al-Tin (95): 4, "La-qad khalaqnaa al-insaana fii ahsani taqwiim" (Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik baiknya). Ayat ini menggambarkan kondisi mental manusia yang seimbang, sehat, dan baik. Tetapi, karena berbagai faktor, misalnya, ada faktor iblis, hawa nafsu, kawan, lingkungan, dan faktor pendidikan, maka semua itu bisa menimbulkan gangguan kepada mental yang pada dasarnya baik menjadi sakit. Oleh sebab itu, Al-Quran banyak berbicara mengenai "fii quluubihim maradhun", yang berarti, di dalam hati nurani mereka (manusia) itu ada penyakit. Jadi, tasawuf ini tugasnya adalah menggarap, yaitu yang pertama, melakukan diagnosis, dalam bahasa tasawufnya disebut "tahliil al-qalb" atau "tahliil al-nafs", yakni memeriksa dahulu kondisi mental, sejauhmana ia sehat, sejauhmana ia mendapat gangguan. Kemudian, yang kedua, dari hasil diagnosisnya itu disodorkanlah terapinya, yang disebut "dawaa` al-qalb" atau "dawaa' amraadh al-qalb". Di dalam rangka diagnosis tadi adalah chek up keadaan kondisi batin. Salah satu di antaranya itu untuk mengantarkan kepada terapinya. Karena itu, untuk menjadikan kondisi hati nurani menjadi sehat dan cemerlang, maka dikenal salah satu upaya yang namanya "riyaadah" (training). Jadi, semua orang yang masuk di dalam ruang tasawuf harus bersedia diperiksa, diuji kesehatannya untuk mendapat terapinya. Jalan menuju terapi itulah yang disebut riyaadah, yaitu ditraining. Kalau misalnya di dalam penyakit fisik telah ditemukan penyakitnya, maka itu harus dioperasi. Orang yang mau diopersi harus berpuasa. Begitu juga, orang yang masuk dalam perawatan tasawuf disuruh berpuasa; yaitu paling sedikit, tiga hari; yang biasa-biasa, tujuh hari; yang kondisi rawan, empat puluh hari; dan yang kondisi gawat, enam puluh hari. Jadi, bertingkat-tingkat. Riyaadah yang paling ringan, selain puasa adalah zikir. Zikir yang kontinu namanya "wirid' (wirid); dan wirid itulah riyaadah yang paling ringan. Dalam pada itu, semua metode dari berbagai pakar atau mursyid-mursyid adalah berbeda-beda, misalnya, yang Syadzily, yang Rifa'iy, dan lain lainnya. Namun, kalau kita adakan studi pola dasarnya maka semua sama. Pola dasar mengenai zikir hanya memiliki tiga unsur dan semuanya sama. Singkatnya, pola dasar zikir dalam dunia tasawuf itu semua sama. Yang pertama, istighfar; yang kedua, shalawat Nabi; dan yang ketiga, tahliil. Tahliil, artinya mengucapkan zikir, "Laa i1aaha illaa Allaah". Jadi, ada istilah-istilah; kalau zikir yang ucapannya, "Laa i1aaha illaa Allaah" namanya tahliil; kalau zikir yang ucapannya, “Allaahu Akbar" namanya takbiir; kalau zikir yang ucapannya, "Alhamdulillaah" namanya tahmiid; dan kalau zikir yang ucapannya, "Subhaanallaah" namanya tasbiih.Perlu saya kemukakan bahwa kalimat "Laa i1aaha illaa Allaah", selain sebagai ucapan zikir, ia juga disebut "kahmat al-tauhid". Tauhid adalah puncak proses perawatan kalbu. Oleh sebab itu, di dalam hadis Nabi dikatakan, "A'laaha laa ilaaha illaa Allaah". Maksudnya, puncak proses memfungsikan iman dalam diri manusia adalah pada saat manusia betul-betul menghayati makna Laa ilaaha illaa Allaah.Berbicara mengenai proses, apakah sekedar mengucapkan, "Astagfirullaah" itu sudah cukup. Adakalanya seorang mursyid setelah melakukan diagnosis, dia mewajibkan pasien (murid)nya untuk membaca istigfar 1.000 kali, atau mungkin 10.000 kali sehari, dalam hal ini, tergantung dari diagnosis mursyid nya. Kemudian, ditraining untuk mendapatkan suatu kondisi mental yang akan membentuk moral yang terpuji. Jadi, proses awal dimulai dari istigfar itu.Apa sesungguhnya hakikat istighfar itu yang menjadi proses awal dari upaya mempercantik, memperindah hati nurani manusia. Hakikat istigfar di dalam istilah tasawuf disebut "taubat". "Tobat" dalam bahasa Indonesia. Istigfar adalah formulasi tobat, tetapi hakikat yang menjadi tujuan adalah tobatnya itu. Kalau begitu, apa artinya taubat? Tobat, awalnya adalah keberanian manusia melihat dan mengoreksi dirinya. Sebab, banyak manusia yang tahunya hanya mengoreksi orang lain, menunjuk-nunjuk orang lain, - dan itu memang pekerjaan paling gampang - tetapi kurang berani atau bahkan tidak berani melihat dan mengoreksi dirinya. Jadi tasawuf itu, kalau mau memperbaiki moral, maka terlebih dahulu harus melihat diri sendiri. Di situlah pangkalnya tobat. Setelah melihat dirinya pasti akan melihat kekurangannya, karena setiap orang telah diberikan standar kebaikan.Sekedar sebagai contoh, misalnya disusun satu daftar kebaikan, lalu diuji diri kita berapa poin dari 70 macam kebaikan yang sudah kita miliki. Kalau masih di bawah setengah maka berarti kita masih termasuk orang buruk, tetapi kalau mencapai di atas setengah maka berarti kita baru menjadi orang baik. Jadi ada daftarnya, yang di dalam istilah tasawuf dinamakan, "muraaqabah" dan "muhaasabah". Kedua-duanya satu paket, yaitu melihat dahulu baru memperhitungkan. Ini merupakan teknik tasawuf. Tekniknya, mencoba melakukan diagnosis yang muraaqabah, artinya menyoroti dahulu, tanya dahulu, periksa dahulu; kemudian adakan perhitungan. Misalnya, sekarang ini jam 11.00 dan mulai bangun jam 05.00. Daftarnya, jam 05.00, apa yang dikerjakan dan seterusnya sampai jam 11.00. Lalu, diuji dengan poinnya 1, 2, 3, 4; mana yang baik dan mana yang buruk. Kalau begitu bangun jam 05.00 langsung salat subuh maka itu baik, tetapi kalau begitu bangun langsung ngobrol dan tidak salat subuh maka itu tidak baik, demikian seterusnya.Inilah yang namanya muhaasabah, artinya mencoba mengadakan perhitungan dengan diri sendiri. Proses tobat dari situ. Setelah evaluasi baru mengembalikan kepada dirinya, kemudian kembali kepada Allah. Jadi, jangan kembali dalam keadaan kotor, tetapi kembali dalam keadaan sadar, walaupun belum begitu baik, yang penting sadar. Itu namanya al-nadam, penyesalan atau menyesali diri.Di dalam. dunia hukum juga sama, ada yang disebut penyesalan. Seorang penjahat yang melakukan kejahatan lalu menyesali kejahatannya, maka akan memperingan hukumannya. Tetapi, kalau seorang penjahat tidak menyesali kejahatannya, maka akan memperberat hukumannya. Begitu pula halnya di hadapan Allah. Kalau kita menyesali kesalahan-kesalahan maka akan memperingan dosa kita. Sesudah menyesal, lalu secara spontan mengatakan, "Astagfirullaah wa atuubu ilaika". Itu berarti ungkapan dari kesadaran batin, bukan sekedar ucapan belaka. Sesudah itu, masih ada follow up-nya, tidak terhenti hanya di situ, tetapi ada yang namanya tobat. Sesudah sadar, harus bertekad di dalam diri untuk tidak akan mengulangi kesalahan yang telah diperbuat. Prosesnya seperti itu, dan itulah yang disebut dengan "taubat nasuuha"Tobat dalam tasawuf termasuk maqaam. Jadi, ada dua istilah dalam dunia tasawuf, yaitu haal (jamaknya, ahwaal) dan maqaam (jamaknya, maqaamaat). Ada kondisi ada posisi. Haal itu kondisi dan maqaam itu posisi. Ini semua termasuk diagnosis tasawuf, yang mencoba menganalisis dunia batin manusia. Hal ini menunjukkan bahwa tasawuf itu sangat modern. Manajemennya modern sekali kalau manusia mampu mengungkapkan. Dengan begitu, harus ada kondisi lebih dahulu baru ada posisi. Posisi awal kalau kita mau masuk ke dalam dunia tasawuf adalah tobat. Awwal maqaamaat, posisi yang paling awal adalah tobat karena dengan tobat itu berarti manusia sudah membersihkan diri. Sama halnya kalau wajah ingin dirias maka harus dibersihkan lebih dahulu. Dibersihkan lebih dahulu baru di make up. Tobat seperti itu posisinya.Jadi tobat itu adalah salah satu amal, kerja, atau upaya. Kerja manusia ini menimbulkan al-rajaa'. Adanya kerja maka menimbulkan harapan. Dengan begitu, harapan manusia itu tidak khayal. Ada orang yang menganggap bahwa tidak ada kerja itu maka menghayal namanya atau mimpi di siang bolong. Oleh karena itu, kalau kita ingin mempunyai harapan kepada Allah maka kita harus mempunyai kerja. Jadi, di sinilah hubungan antara kerja dengan harapan, interaksi antara kerja dengan harapan. Manusia itu kan mengharap yang baik-baik semua. Kalau kita beriman kepada hari akhirat maka harapan kita akah masuk surga. Tegasnya, kalau kita mempunyai harapan maka kita harus kerja.Kembali ke masalah tasawuf visi Ataillah, maka di sinilah peranannya kata-kata hikmah dari Syekh Ataillah. Ia mengatakan, "al-rajaa' 'inda eujuud al-dalal". Jadi, kita jangan putus harapan, harus selalu ada harapan bagaimana pun besarnya godaan atau bagaimana pun jeleknya kondisi yang ada di sekitar kita; jangan putus harapan.Di dalam kamus seorang sufi, tidak ada kata-kata putus harapan, tetapi selalu ada raja' (harapan). Allah SWT. menjamin dan Rasulullah SAW. pun menjamin. Allah menegaskan di dalam. QS. AI Zumar, 39: 53, "Laa taknathuu min rahmati Allaah" (Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah). Demikian pula, Nabi mengatakan, "Yuqbalu taubatu al-'abdi maa lani yugargir". Jadi, pintu kembali kepada Allah itu tidak pernah tertutup sampai ajal di leher. Selama manusia masih hidup, walaupun dalam kondisi yang begitu jelek kesehatannya, tidak bisa berbuat apa-apa lagi, pintu harapan tidak pernah tertutup. Jangan mimpi bahwa ada dunia tanpa kejahatan. Tidak akan pernah ada dunia tanpa kejahatan. Jangan kita gambarkan ada dunia tanpa kejahatan. Kalau mau dunia tanpa kejahatan, silakan cepat ke surga. Di situ tidak ada kejahatan. Yang penting, bagaimana kita berjuang melawan kejahatan itu. Maka, itulah sebabnya, ada istilah "orang baik" dan ada "orang jahat". Semoga kita termasuk golongan orang baik, insya Allah.

Tidak ada komentar: