2008/02/19

THE WAY OF ALAWIYIN TRIBE
THE WAY OF ALAWIYIN TRIBE1. Hijrah karena Alloh Dan Rosul-Nya. Beliau adalah Al-Imam Ahmad bin Isa bin
Muhammad bin Ali Al-'Uraidhi bin Ja'far Ash-Shodiq, dan terus bersambung nasabnya hingga Rasulullah SAW. Beliau
adalah seorang yang tinggi di dalam keutamaan, kebaikan, kemuliaan, akhlak dan budi pekertinya. Beliau juga seorang
yang sangat dermawan dan pemurah.Beliau berasal dari negara Irak, tepatnya di kota Basrah. Ketika beliau mencapai
kesempurnaan di dalam ketaatan dan ibadah kepada Allah, bersinarlah mata batinnya dan memancarlah cahaya
kewaliannya, sehingga tersingkaplah padanya hakekat kehidupan dunia dan akherat, mana hal-hal yang bersifat baik
dan buruk.Beliau di Irak adalah seorang yang mempunyai kedudukan yang tinggi dan kehidupan yang makmur. Akan
tetapi ketika beliau mulai melihat tanda-tanda menyebarnya racun hawa nafsu disana, beliau lebih mementingkan
keselamatan agamanya dan kelezatan untuk tetap beribadah menghadap Allah SWT. Beliau mulai menjauhi itu semua
dan membulatkan tekadnya untuk berhijrah, dengan niat mengikuti perintah Allah, "Bersegeralah kalian lari kepada
Allah..." Adapun sebab-sebab kenapa beliau memutuskan untuk berhijrah dan menyelamatkan agamanya dan
keluarganya, dikarenakan tersebarnya para ahlul bid'ah dan munculnya gangguan kepada para Alawiyyin, serta begitu
sengitnya intimidasi yang datang kepada mereka. Pada saat itu muncul sekumpulan manusia-manusia bengis yang suka
membunuh dan menganiaya. Mereka menguasai kota Basrah dan daerah-daerah sekitarnya. Mereka membunuh
dengan sadis para kaum muslimin. Mereka juga mencela kaum perempuan muslimin dan menghargainya dengan harga
2 dirham. Mereka pernah membunuh sekitar 300.000 jiwa dalam waktu satu hari. Ash-Shuly menceritakan tentang hal ini
bahwa jumlah total kaum muslimin yang terbunuh pada saat itu adalah sebanyak 1.500.000 jiwa.
Pemimpin besar mereka adalah seorang yang pandir dengan mengaku bahwa dirinya adalah Ali bin Muhammad bin
Ahmad bin Ali bin Isa bin Zainal Abidin, padahal nasab itu tidak ada. Ia suka mencaci Ustman, Ali, Thalhah, Zubair,
Aisyah dan Muawiyah. Ini termasuk salah satu golongan dalam Khawarij.
Karena sebab-sebab itu, Al-Imam Ahmad memutuskan untuk berhijrah. Kemudian pada tahun 317 H, berhijrahlah beliau
bersama keluarga dan kerabatnya dari Basrah menuju ke Madinah. Termasuk di dalam rombongan tersebut adalah
putra beliau yang bernama Ubaidillah dan anak-anaknya, yaitu Alwi (kakek keluarga Ba'alawy), Bashri (kakek keluarga
Bashri), dan Jadid (kakek keluarga Jadid). Mereka semua adalah orang-orang sunni, ulama yang mengamalkan ilmunya,
orang-orang sufi dan sholeh. Termasuk juga yang ikut dalam rombongan beliau adalah para budak dan pembantu
beliau, serta termasuk didalamnya adalah kakek dari keluarga Al-Ahdal. Dan juga ikut diantaranya adalah kakek
keluarga Bani Qadim (Bani Ahdal dan Qadim adalah termasuk keturunan dari paman-paman beliau).
Pada tahun ke-2 hijrahnya beliau, beliau menunaikan ibadah haji beserta orang-orang yang ikut hijrah bersamanya.
Kemudian setelah itu, beliau melanjutkan perjalanan hijrahnya menuju ke Hadramaut. Masuklah beliau ke daerah Hajrain
dan menetap disana untuk beberapa lama. Setelah itu beliau melanjutkan ke desa Jusyair. Tak lama disana, beliau lalu
melanjutkan kembali perjalanannya dan akhirnya sampailah di daerah Husaisah (nama desa yang berlembah dekat
Tarim). Akhirnya beliau memutuskan untuk menetap disana.
Semenjak beliau menetap disana, mulai terkenallah daerah tersebut. Disana beliau mulai menyebarkan-luaskan As-
Sunnah. Banyak orang disana yang insyaf dan kembali kepada As-Sunnah berkat beliau. Beliau berhasil
menyelamatkan keturunannya dari fitnah jaman.
Masuknya beliau ke Hadramaut dan menetap disana banyak mendatangkan jasa besar. Sehingga berkata seorang
ulama besar, Al-Imam Fadhl bin Abdullah bin Fadhl, "Keluar dari mulutku ungkapan segala puji kepada Allah.
Barangsiapa yang tidak menaruh rasa husnudz dzon kepada keluarga Ba'alawy, maka tidak ada kebaikan padanya."
Hadramaut menjadi mulia berkat keberadaan beliau dan keturunannya disana. Sulthanah binti Ali Az-Zabiidy (semoga
Allah merahmatinya) telah bermimpi bertemu Rasulullah SAW, dimana di mimpi tersebut Rasulullah SAW masuk ke
dalam kediaman salah seorang Saadah Ba'alawy, sambil berkata, "Ini rumah orang-orang tercinta. Ini rumah orangorang
tercinta." Radhiyallohu anhu wa ardhah...
[Disarikan dari Syarh Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub Abdullah bin Alwi Alhaddad Ba'alawy, karya Al-
Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain Alhabsyi Ba'alawy]
1.2. Mengapa Imam al-Muhajir hijrah ke Yaman
Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad dalam bukunya Risalatul Muawanah mengatakan, 'Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa
bin Muhammad bin Ali bin al-Imam Ja’far Shadiq, ketika menyaksikan munculnya bid’ah, pengobralan
hawa nafsu dan perbedaan pendapat yang makin menghangat, maka beliau hijrah dari negerinya (Iraq) dari tempat yang
satu ke tempat yang lain hingga sampai di Hadramaut, beliau bermukim di sana hingga wafat. Mengapa Imam al-Muhajir
memilih Hadramaut yang terletak di Negara Yaman sebagai tempat hijrah ?
Imam al-Muhajir memilih Hadramaut sebagai tempat hijrahnya, dikarena beberapa faktor, pertama peristiwa hijrahnya al-
Husein dari Madinah ke Kufah, dimana Ibnu Abbas memberikan nasehat kepada Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib
ketika hendak berangkat ke Kufah. Ibnu Abbas menasehati agar beliau pergi ke Yaman karena di negeri itu para
penduduknya menyatakan siap untuk mendukung Imam Husein. Sejarah membuktikan bahwa keturunan Imam Husein
sampai saat ini mendapat dukungan di sana. Kedua, keistimewaan penduduk Yaman yang banyak disebut dalam
alquran dan hadits. Allah swt berfirman :
Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan
mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut
terhadap orang yang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang
tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-
Nya, dan Allah maha luas (pemeberian-Nya) lagi maha mengetahui.
Dari Jabir, Rasulullah saw ditanya mengenai ayat tersebut, maka Rasul menjawab, 'Mereka adalah ahlu Yaman dari
http://www.nurulmusthofa.org - NURUL MUSTHOFA -- AL-Habib Hasan Bin Ja'far As-segaf Powered by Mambo Generated: 16 January, 2008, 16:56
suku Kindah, Sukun dan Tajib'. Ibnu Jarir meriwayatkan, ketika dibacakan tentang ayat tersebut di depan Rasulullah
saw, beliau berkata, 'Kaummu wahai Abu Musa, orang-orang Yaman'. Dalam kitab Fath al-Qadir, Ibnu Jarir meriwayat
dari Suraikh bin Ubaid, ketika turun ayat 54 surat al-Maidah, Umar berkata, 'Saya dan kaum saya wahai Rasulullah'.
Rasul menjawab, 'Bukan, tetapi ini untuk dia dan kaumnya, yakni Abu Musa al-Asy'ari'.
Ketika Allah berfirman dalam surat al-Hajj ayat 27 yang berbunyi :
Dan serukanlah kepada umat manusia untuk menunaikan ibadah haji, niscaya mereka akan datang ke (rumah Tuhan)
mu dengan berjalan kaki dan dengan menunggang berbagai jenis unta yang kurus, yang datangnya dari berbagai jalan
yang jauh.
Ayat ini turun kepada nabi Ibrahim as, setelah menerima wahyu tersebut beliau pergi menuju Jabal Qubays dan menyeru
untuk menunaikan haji. Dan orang pertama yang menjawab dan datang atas seruan Nabi Ibrahim as adalah orang-orang
Yaman'.
Allah swt berfirman dalam surah al-Nashr ayat 2 :
'Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan beramai-ramai'.
Berkata Shadiq Hasan Khan dalam tafsirnya dari Ikrimah dan Muqatil, 'Sesungguhnya yang dimaksud dengan manusia
pada ayat itu adalah orang-orang Yaman, mereka berdatangan kepada Rasulullah untuk menjadi kaum mu'minin
dengan jumlah tujuh ratus orang'.
Dari Ibnu Abbas berkata : Nabi kita ketika berada di Madinah berkata, 'Allahu Akbar, Allahu Akbar, telah datang bantuan
Allah swt dan kemenangannya dan telah datang ahlu Yaman. Para sahabat bertanya kepada Rasulullah saw : Siapakah
ahlu Yaman itu ? Rasulullah saw menjawab : Suatu kaum yang suci hatinya dan lembut perangainya. Iman pada ahlu
Yaman, kepahaman pada ahlu Yaman dan hikmah pada ahli Yaman'.
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani telah meriwayatkan suatu hadits dalam kitabnya berjudul Fath al-Bari, dari Jabir bin
Math’am dari Rasulullah saw berkata, 'Wahai ahlu Yaman kamu mempunyai derajat yang tinggi. Mereka seperti
awan dan merekalah sebaik-baiknya manusia di muka bumi'.
Dalam Jami' al-Kabir, Imam al-Suyuthi meriwayatkan hadits dari Salmah bin Nufail, 'Sesungguhnya aku menemukan
nafas al-Rahman dari sini'. Dengan isyarat yang menunjuk ke negeri Yaman. Masih dalam Jami’ al-Kabir, Imam
al-Sayuthi meriwayatkan hadits marfu’ dari Amru ibnu Usbah , berkata Rasulullah saw, 'Sebaik-baiknya lelaki,
lelaki ahlu Yaman'.
Faktor lain yang menjadi pertimbangan Imam al-Muhajir hijrah ke Yaman dikarenakan masyarakat Yaman mempunyai
hati yang suci dan tabiat yang lembut serta bumi yang penuh dengan keberkahan, sehingga Rasulullah saw
memerintahkan hijrah ke negeri Yaman jika telah terjadi fitnah. Diriwayatkan dari Ibnu Abi al-Shoif dalam kitab Fadhoil al-
Yaman, dari Abu Dzar al-Ghifari, Nabi saw bersabda, 'Kalau terjadi fitnah pergilah kamu ke negeri Yaman karena disana
banyak terdapat keberkahan'.
Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah al-Anshari, Nabi saw bersabda, 'Dua pertiga keberkahan dunia akan tertumpah ke
negeri Yaman. Barang siapa yang akan lari dari fitnah, pergilah ke negeri Yaman, Sesungguhnya di sana tempat
beribadah'.
Abu Said al-Khudri ra meriwayatkan hadits dari Rasulullah saw, 'Pergilah kalian ke Yaman jika terjadi fitnah, karena
kaumnya mempunyai sifat kasih sayang dan buminya mempunyai keberkahan dan beribadat di dalamnya
mendatangkan pahala yang banyak'.
Abu Musa al-Asy’ari meriwayatkan dari Rasulullah saw, 'Allah akan mendatangkan suatu kaum yang dicintai-Nya
dan mereka mencintai Allah. Bersabda Nabi saw : mereka adalah kaummu Ya Abu Musa, orang-orang Yaman'.
Dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah saw bersabda, 'Siapa yang mencintai orang-orang Yaman berarti telah mencitaiku,
siapa yang membenci mereka berarti telah membenciku'.
2. Dakwah Alawiyin di Nusantara.
Sumber-sumber sejarah sebagian orang barat menyatakan bahwa islam masuk keindonesia pada abad XIII M dan
bahwa yang pertama kali menyiarkan ialah orang-orang persia dan india. Akan tetapi menurut para ahli sejarah dari
kaum muslim sendiri, keterangan tersebut tidak dapat dibenarkan dan bahkan kuat kemungkinan bahwa hal itu memang
disengaja dipalsukan untuk tujuan-tujuan politik penjajahan mereka.
Seminar “ Masuknya Islam Ke Indonesia “ yang diselenggarakan pada 17-20 Maret 1963 di Medan
menyimpulkkan antara lain bahwa Islam telah masuk untuk pertama kalinya ke Indonesia pada abad pertama Hijriah
langsung dari negri Arab dan bahwa derah pertama yang di datangi ialah pesisir Sumatra, tempat terbentuknya
masyarakat Islam serta kerjaan Islam pertama.
Selain itu, dapat di simpulkan bahwa diantara mubaligh-mubaligh Islam yang datang pertama kali terdapat golongan
Alawiyin keturunan Sayidina Hasan dan Sayidina Husein bin Ali, baik yang berasal dari makkah – Madinah
maupun yang kemudian menetap di Yaman dan sekitarnya. Ada kemungkinan bahwa sebelum sampai keindonesia
mereka singgah beberapa waktu di Gujarat, pantai barat India sebelum meneruskan perjalan ke Timur (Indonesia,
Malaysia Dan Pilfina). Mereka berlayar ke Timur untuk berdagang, dan juga menyelamatkan diri dari pemerintahan Bani
Umayah atau tidak mau melibatkan diri dalam perang saudara yang terus-menerus berkecamauk, mereka ini secara aktif
melakukan dakwah ke India, Indonesia dan juga ke Tiongkok, dengan sendirinya pun ke daerah-daerah yang terletak
pada garis Arab-Tiongkok seperti Malaka (malaysia) dan pilipina.
Ialam telah dikenal di sumatera Utara sebelum abad III H dan di bawa oleh para pedagang Arab dan Persi. Kerajaan
Islam Perlak didrikan pada 1 Muharrom 225 H (840 M), dengan Sayid Maulana Abdul Aziz Shah sebagai sultannya yang
http://www.nurulmusthofa.org - NURUL MUSTHOFA -- AL-Habib Hasan Bin Ja'far As-segaf Powered by Mambo Generated: 16 January, 2008, 16:56
pertama, baergelar Sultan Alaudin Sayid Maulana Abdul Aziz Shah. Ayahnya ialah Sayid Ali bin Muhammad bin
Ja’far Ash-Shodiq bin Muhammad Al-Bagir bin Ali Zainal Abidin bin Sayidina Husin bin Sayidina Ali bin Abi Tholib
dan Fatimah Bin Rosululloh SAW, dinikahkan oleh Muerah (Raja) Perlak Syahrir Nuwi dengan adik kandungnya
bernama Putri Makdum Tansyuri.
Dalam perkembangan selanjutnya, kaum Alawiyin dari keturunan Ahmad Al Muhajir bin Isa memegang peranan penting
dalam penyebarluasan di daerah-daerah Asia Tenggara termasuk pulau Jawa yang sampaiabad XIV M masih di kuasai
oleh kerajaan Majapahit yang beragama Hindu.
Terdorong oleh keingin mencari kehidupan materi yang lebih baik di samping menyebarkan ajaran-ajaran Islam
keseluruh penjuru dunia, banyak dari mereka pergi meninggalkan Hadrolmaut, ada yang ke Barat sampai ke Somalia,
Jibuti, Eritrea, Madagaskar dan lainnya, dan adapula yang ke timur sampai ke India, Cina, Kampucea Sia, Pilipina,
Malaysia, Brunei dan Indonesia.
Disetiap negri yang di kunjungi, mereka langsung membaur dengan rakyat setempat dan menggunakan nama-nama
dan gelar-gelar yang dipakai secara umum. Dengan kelurhuran ahlak dan kehidupan bersahaja serta ketaatan kepada
Agama seperti yang di warisi dari para leluhur, mereka mereka berhasil memikat hati penduduk setempat sehingga
dalam waktu yang relatif singkat, Islam telah menyebar dan meluas di berbagi daerah di AsiaTenggara termasuk
kepulauan Indonesia. Di antara mereka yang sangat terkenal ialah keturunan Abdul Malik bin Alwy bin Muhammad
(Shohib Mirbath) bin Ali (Kholi’ Qosam) bin Alwy bin Muhammad bin Alwy bin Ubaidillah bin Ahmad Al Muhajir.
Sayid Abdul Malik tersebut pergi dari Hadrolmaut dan menetap di India dan Anak cucunya membaur dengan penduduk
negri dan menggunakan nama-nama dan gelar-gelar India. Dalam buku nasab kaum Alawiyin, mereka di sebut sebagai
keluarga Adzamat Khan. Diantara mereka pergi ke Asia Tenggara yang diantara anak cucunya kemudian di kenal di
Indonasia sebagai Wali Songo.
Jamaluddin Husain al-Akbar adalah orang pertama dari keluarga Adzamat Khan yang datang dan menetap di
Indonesia. Ia adalah putra Ahmad jalal Syah (lahir dan wafat di India) bin Abdullah khan bin Abdul-Malik (wafat di India)
bin Alwi (wafat di Tarim Hadromaut) bin Muhammad (Shahib Marbath) dan seterusnya sampai Imam al-Muhajir.
Jamaluddin datang ke Indonesia dengan membawa keluarga dan sanak kerabatnya, lalu meninggalkan salah seorang
putranya bernama Ibrahim Zain al-Akbar di Aceh untuk mengajarkan tentang Islam, sedangkan ia sendiri mengunjungi
kerajaan Majapahit di Jawa kemudian merantau lagi ke daerah Bugis (Makassar dan Ujung pandang) dan berhasil dalam
penyiaran Islam dengan damai sampai ia wafat di daerah Wajo, Makassar. Ia meninggalkan tiga orang putra, yaitu
Ibrahim Zainuddin al-Akbar (yang ditinggal oleh ayahnya di Aceh), Ali Nurul Alam dan Zainal Alam Barakat.
Ibrahim Zainuddin al-Akbar (alias Ibrahim Asmoro) wafat di Tuban Jawa Timur dan meninggalkan tiga orang putra yakni:
Ali Murtadha, Maulana Ishaq, (ayah dari Muhammad Ainul Yakin /Sunan Giri) dan Ahmad Rahmatulloh Sunan Ampel
(ayah dari Ibrohim Sunan Bonang, Hasyim Sunan Drajat, Ahmad Husanuddin Sunan Lamingan, Zainal Abidin Sunan
Demak, Ja’far Shodiq Sunan Kudus).
Ali Nurul Alam putra dari Jamaluddin Husein Al Akbar, wafat di Anam (Siam) meninggalkan seorang putra yaitu Abdulloh
Khan yang wafat di Kmphuchea. Dua orang putra Abdulloh beliau adalah Babulloh Sultan Ternate dan Syarif
Hidayatulloh Sunan Gunung Jati (ayah dari Sultan Hasanuddin, Sultan Banten yang pertama).
Zainal Alam Barokat, putra ketiga dari Jamaluddin Husen Al Akbar, wafat di Kampuchea atau di Cermin, meninggalkan
dua orang putra yaitu Ahmad Zainal Alam dan Maulana Malik Ibrohim (wafat di Gresik)
Dari kalangan keluarga Alawiyin lainnya tercatat nama-nama para pahlawan kemerdekaan RI antara lain adalah :
Pangeran Diponegoro nama beliau adalah Mas ontowiryo beliau lahir pada tanggal 17 Nopember 1785, ayah beliau
adalah Hamengkubuwono III ( Sayid Husein bin Alwy Ba’bud ). Tuanku Imam Bonjol nama beliau adalah
Muhammad bin Shahab lahir pada tahun 1772 ayah beliau seorang ulama yang bernama Sayid Khatib Bajanuddin Bin
Shahab dll.
Selanjutnya dapat disebutkan disini beberapa nama lainnya yang berjasa dibidang dakwah dan pendidikan, antara lain :
a. Habib Abdulloh bin Mukhsin AlAthos, beliau ke Indonesia, pada tahun 1800 Masehi, waktu itu beliau diperintahkan
oleh Al Habibul Imam Abdullah bin Abu Bakar Alayidrus, untuk menuju Kota Mekah. Dan sesampainya di Kota Mekah,
beliau melaksanakan sholat dan pada malam harinya beliau mimpi bertemu dengan Rasullah SAW, entah apa yang
dimimpikannya, yang jelas ke esok harinya beliau berangkat menuju Negeri Indonesia.
Sesampainya di Indonesia, beliau dipertemukan dengan Al Habib Ahmad Bin Hamzah Al Athas yang ada dipakojan
Jakarta dan beliau belajar ilmu agama darinya, lalu Habib Ahmad Bin Hamzah Al Athas memerintahkan agar beliau
datang berziarah ke Habib Husen di luar Batang, dari sana sampailah perjalanan beliau ke Bogor, Pada saat beliau
datang ke Empang Bogor, disana disebutkan bahwa Empang yang pada saat itu belum ada penghuninya, namun
dengan Ilmu beliau bisa menyala dan menjadi terang benderang
Masjid Keramat Empang didirikan sekitar tahun 1828 M. pendirian Masjid ini dilakukan bersama para Habaib dan ulamaulama
besar di Indonesia. Di Sekitar Areal Masjid Keramat terdapat peninggalan rumah kediaman Habib Abdullah, Habib
Abdullah Bin Al Athas, adalah seorang Waliyullah dengan kiprahnya menyebarkan Agama Islam dari satu negeri
kenegeri lain, peninggalan beliau adalah Masjid Annur dan pengajian pada setiap kamis sore
b. sayid Idrus bin Salim Al Jufry, pendiri sekolah-sekolah Al Khairot di Palu, Sulawesi, yang terus berkembang dan
jumlahnya kini sudah mencapai, ratusan bahkan ribuan tersebar dikawasan Indonesia bagian Timur.
c. Habib Ali bin Abdurrohman Al Habsyi, pendiri Islamic Center yang terletak di Kwitang jakarta pusat beliau
menghabiskan umurnya di dalam berdakwah dan mengajar, beliau pernah mendirikan madrasah Unwanul Ulum, namun
ketika jepang berkuasa di Indonesia Habib Ali ditangkap shingga Madrasah ini tidak terurus, pada tahun 1911 M beliau
mendiriakan Masjid Arriyadh, sampai saat ini pengajian beliau masih ada dan dibanjiri oleh jamaah tua maupun muda.
d. Sayid Muhammad bin Abdurrohman bin Shahab, seorang ulama besar dan sangat memperhatikan kaum lemah
seperti anak yatim piatu, janda, fakir miskin. Salah seorang pendiri Jamiatu Khair. Hubungan beliau dengan H.O.S.
http://www.nurulmusthofa.org - NURUL MUSTHOFA -- AL-Habib Hasan Bin Ja'far As-segaf Powered by Mambo Generated: 16 January, 2008, 16:56
Cokroaminoto dan K.H. Ahmad Dahlan sangat erat dan besar pengaruhnya dalm pembentukan Syarekat Islam serta
Muhamadiyah. Beliau pernah menjabat ketua di dalam organisasi Arrabitah Alawiyah pada tahun 1928 hingga 1930
pada tahun itu pula beliau wafat di Surabaya.
e. Habib Ali bin Husein Al Athos beliau tiba di Jakarta pada tahun 1920 M. disini beliau berusaha menyiarkan agama
Islam, namun mendapatkan kesulitan untuk mendirikan majlis ta’lim, oleh penjajah Belanda, oleh karena itu
beliau memberikan pelajaran hanya kepada teman dan kenalan saja, dari satu rumah kerumah lainnya, di samping
mengajar dirumah sendiri, pada waktu jepang menjajah larangan mengajar agama semakin keras, oleh karena itu beliau
sering brkata :” Penjajah adalah jahat, kafir, dan wajib di perangi.”beliau selama 56 tahun selalu
mengobarkan semangat anti penjajahan dengan membawakan Al qur’an dan Hadist, murid beliau banyak yang
menjadi ulama besar salah satunya adalah Mu’alim Syafi’i Hazami.
f. Habib Ali bin Ja’far Beliau adalah ahli nasab yang mengadakan cacah jiwa pertama tahun 1932 dari daerah ke
daerah. Pekerjaan ini oleh AL-Habib Ali bin Ja'far bin Syech Assegaf diteruskan hingga tahun 1950.Di mana dari sensus
tersebut beliau berhasil menghimpun hampir semua dzurriyyah Rasul SAW yang ada di Indonesia, termasuk yang
berhijrah ke Semenanjung Malaysia dan Singapura. Selanjutnya dari hasil sensus ini oleh AL-Habib Ali bin Ja'far bin
Syech Assegaf sebanyak 7 jilid yang dihimpun menjadi 3 buah buku kecil berukuran (16 x 22cm) lengkap dengan
catatan kaki, tahun kelahiran, tahun meninggal, tempat kelahiran, tempat meninggal. Satu karya yang betul-betul
menjadi tonggak sejarah yang
mungkin agak sulit untuk dilakukan lagi di zaman modern sekarang ini. Dengan merujuk buku silsilah yang dibuat oleh
AL¬Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Husin AL¬Masyhur Syahabuddin sebanyak 7 jilid, AL-Habib Ali bin Ja'far bin
Syech Assegaf secara teliti menggabungkan hasil karyanya 3 buku tersebut menjadi 15 jilid dengan ukuran (30x4Ocm).
Di saat itu, tahun 1954 M Lembaga Pemeliharaan Silsilah & Statistik Alawiyin berdiri secara resmi. Pimpinan saat itu
adalah AL-Habib Ali bin Ja'far bin Syech Assegaf dan AL-Habib Hasyim bin Muhammad AL-Habsyi serta dengan
penasehat AL-Habib Alwi bin Thohir AL-Haddad (Mufti Johor) & AL-Habib Ahmad bin Abdullah bin Muhsin Assegaf
(pengarang Khidma'atul Asyirah). Pada tahun 1956 AL-Habib Alwalid Ali bin Ja'far bin Syech Assegaf (dikarenakan
kondisi kesehatannya terganggu) mengundurkan diri dan diganti oleh AL-Habib Hasyim bin Muhammad AL-Habsyi
dibantu oleh AL-Habib M. Dhiyaa Shahab, AL-HabibAbdurrahman bin Sagaf Assegaf dan Al-Habib Ahmad bin Husin
AL¬Athas. Selanjutnya buku 15 jilid ini dibuat duplicat menjadi 3 set masing-masing duplicat tersebut disimpan di Jawa
Tengah (Solo) saat ini ada di Pekalongan satu set di Jawa Timur (Surabaya) dan satu set di Palembang untuk wilayah
Sumatera.
g. Habib Abdurrohman bin Ahmad Asseggaf beliau menjadi penabur dan penyebar ilmu di berbagai madrasah
sehinggalah akhirnya beliau mendirikan pusat pendidikan beliau sendiri yang dinamakan Madrasah Tsaqafah Islamiyyah
di Bukit Duri, Jakarta. Dunia pendidikan memang tidak mungkin dipisahkan dari jiwa almarhum Habib 'Abdur Rahman,
yang hampir seluruh umurnya dibaktikan untuk ilmu dan pendidikan sehingga dia disebut sebagai gurunya para ulama.
Sungguh almarhum adalah seorang pembimbing yang siang dan malamnya menyaksikan keluhuran akhlak dan budi
pekertinya, termasyhur dengan kelembutan perangainya, termasyhur dengan khusyu'nya, termasyhur dengan
keramahannya oleh segenap kalangan masyarakat, orang-orang miskin, orang kaya, pedagang, petani, kiyai, ulama dan
orang-orang awam yang masih belum mendapat hidayah pun menyaksikan kemuliaan akhlak dan keramahan beliau
rahimahullah, termasyhur dengan keluasan ilmunya, guru besar bagi para Kiyai dan Fuqaha di Indonesia, siang dan
malamnya ibadah, rumahnya adalah madrasahnya, makan dan minumnya selalu bersama tamunya, ayah dan ibu untuk
ribuan murid-muridnya.
Demikianlah beberapa nama dari sekian banyaknya para keluarga Alawiyin yang berjasa di bumi Indonesia yang kita
cintai ini.
3. Sayid, Syarif dan Habib sebutan Alawiyin.
Sayyid (bahasa Arab) (jamak : Sadah) adalah gelar kehormatan yang diberikan kepada orang-orang yang merupakan
keturunan Nabi Muhammad SAW melalui cucu beliau, Hasan bin Ali dan Husain bin Ali, yang merupakan anak dari anak
perempuan Nabi Muhammad SAW, Fatimah az-Zahra dan menantunya Ali bin Abi Thalib. Sebab Nabi SAW bersabda :
kedua anakku ini menjadi sayid (tuan) dari pemuda-pemuda di surga.”
syarif. Keturunan dari Hasan bin Ali yang pernah memerintah Makkah, Madinah, Iraq pada masa Kesultanan Turki
Utsmaniyah dan sekarang di Yordania, yaitu Hasyimiyah atau Hashemites menggunakan gelar Syarif.
Dalam Dunia Arab istilah Syarif digunakan oleh keturunan Hasan bin Ali, sedangkan gelar Sayyid digunakan oleh
keturunan Husain bin Ali. Sedangkan kata Habib (bahasa arab) (jamak : Habaib) yang berarti kecintaan, di
riwayatkandari Imam Ahmad, Thabrany, dan Al Hakim bersal dari Ibnu Abbas RA yang mengatakan bahwa setelah turun
ayat 33 surat Asy-Syuro yang berbunyi : “ QUL LAA ASALUKUM ‘ALAIHI AJRON ILLA MAWADDATI
FILQURBA WAMAYYAQTRIF HASANATAN NAZIDLAHUU FIHAA HUSNAN INNALLOHA GHOFURUN
SYAKUUR.” Yang artinya “ Katakanlah (hai Muhajmmad) kepada mereka: aku tidak meminta upah apapun
juga atas seruanku (dakwah) kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan. Barang siapa berbuat kebajikan baginya kami
tambahkan kebaikan pada kebajikan itu, sesungguhnya Alloh Maha pengampun lagi Maha pembalas syukur.”
Kemudian para sahabat bertanya : Ya Rosulalloh siapakah kerabat anda yang wajib kita berkasih sayang kepada
mereka ? Rosululloh, menjawab : “Ali Fathimah dan kedua anak meraka.” gelar kehormatan ini di berikan
kepada keturunan Nabi SAW. Dan di gunakan sekitar abad 14 H.
4. Thoriqot Alawiyah.
http://www.nurulmusthofa.org - NURUL MUSTHOFA -- AL-Habib Hasan Bin Ja'far As-segaf Powered by Mambo Generated: 16 January, 2008, 16:56
Habib Alqutbh Abdullah bin Alwi Al-Haddad, berkata:
"Hendaknyalah anda membentengi aqidahmu (imanmu), memperbaiki dan meluruskannya sesuai dengan jalan yang
ditempuh oleh golongan yang selamat di Akhirat (Al-Firqah An-Najiah). Golongan ini terkenal di kalangan kaum muslimin
dengan sebutan golongan "Ahlus Sunah Wal-Jamaah". Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan caracara
yang dilakukan oleh Rasul Allah dan Sahabat-sahabatnya. Apabila anda perhatikan dengan fikiran yang sehat dan
hati yang bersih nash-nash (teks-teks) Al-Qur'an dan Sunnah yang berhubungan dengan keimanan, kemudian anda
pelajari perilaku para Salaf baik Sahabat maupun Tabi'in maka anda akan tahu dan yakin bahwa kebenaran akan
berada di fihak mereka yang terkenal dengan sebutan Al-Asy'ariyah, yaitu pengikut Abul Hasan Al-Asy'ari, yang telah
menyusun kaidah-kaidah (keyakinan) golongan yang berada di pihak yang benar serta telah meneliti dalil-dalilnya. Itu
pulalah aqidah yang telah disepakati oleh para Sahabat Nabi serta generasi-generasi berikutnya dari para Tabi'in yang
saleh dan itu pulalah aqidah orang-orang yang mengikuti kebenaran di mana saja dan kapan saja. Aqidah dan
keyakinan itu juga dianut oleh semua ulama Tasawuf, seperti diriwayatkan oleh Abul Qasim Al-Qusyairi dalam risalahnya
Tarekat Alawiyyah berbeda dengan tarekat sufi lain pada umumnya. Perbedaan itu, misalnya, terletak dari praktiknya
yang tidak menekankan segi-segi riyadlah (olah ruhani) dan kezuhudan, melainkan lebih menekankan pada amal,
akhlak, dan beberapa wirid serta dzikir ringan.
Sehingga wirid dan dzikir ini dapat dengan mudah dipraktikkan oleh siapa saja meski tanpa dibimbing oleh seorang
mursyid. Ada dua wirid yang diajarkannya, yakni Wirid Al-Lathif dan Ratib Al-Haddad. Juga dapat dikatakan, bahwa
tarekat ini merupakan jalan tengah antara Tarekat Syadziliyah [yang menekankan riyadlah qulub (olah hati) dan batiniah]
dan Tarekat Al-Ghazaliyah [yang menekankan riyadlah al-‘abdan (olah fisik)].
Tarekat Alawiyyah merupakan salah satu tarekat mu’tabarah dari 41 tarekat yang ada di dunia. Tarekat ini
berasal dari Hadhramaut, Yaman Selatan dan tersebar hingga ke berbagai negara, seperti Afrika, India, dan Asia
Tenggara (termasuk Indonesia). Tarekat ini didirikan oleh Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir – lengkapnya Imam
Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir -- , seorang tokoh sufi terkemuka asal Hadhramat pada abad ke-17 M. Namun
dalam perkembangannya kemudian, Tarekat Alawiyyah dikenal juga dengan Tarekat Haddadiyah, yang dinisbatkan
kepada Sayyid Abdullah al-Haddad, selaku generasi penerusnya. Sementara nama “Alawiyyah” berasal
dari Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir.
Tarekat Alawiyyah, secara umum, adalah tarekat yang dikaitkan dengan kaum Alawiyyin atau lebih dikenal sebagai
saadah atau kaum sayyid – keturunan Nabi Muhammad SAW – yang merupakan lapisan paling atas
dalam strata masyarakat Hadhrami. Karena itu, pada masa-masa awal tarekat ini didirikan, pengikut Tarekat Alawiyyah
kebanyakan dari kaum sayyid (kaum Hadhrami), atau kaum Ba Alawi, dan setelah itu diikuti oleh berbagai lapisan
masyarakat muslim lain dari non-Hadhrami.
Tarekat Alawiyyah juga boleh dikatakan memiliki kekhasan tersendiri dalam pengamalan wirid dan dzikir bagi para
pengikutnya. Yakni tidak adanya keharusan bagi para murid untuk terlebih dahulu diba’iat atau ditalqin atau
mendapatkan khirqah jika ingin mengamalkan tarekat ini. Dengan kata lain ajaran Tarekat Alawiyyah boleh diikuti oleh
siapa saja tanpa harus berguru sekalipun kepada mursyidnya. Demikian pula, dalam pengamalan ajaran dzikir dan
wiridnya, Tarekat Alawiyyah termasuk cukup ringan, karena tarekat ini hanya menekankan segi-segi amaliah dan akhlak
(tasawuf ‘amali, akhlaqi). Sementara dalam tarekat lain, biasanya cenderung melibatkankan riyadlah-riyadlah
secara fisik dan kezuhudan ketat.
Oleh karena itu dalam perkembangan lebih lanjut, terutama semasa Syekh Abdullah al-Haddad – Tarekat
Alawiyyah yang diperbaharui – tarekat ini memiliki jumlah pengikut yang cukup banyak seperti di Indonesia.
Bahkan dari waktu ke waktu jumlah pengikutnya terus bertambah seiring dengan perkembangan zaman. Tarekat
Alawiyyah memiliki dua cabang besar dengan jumlah pengikut yang juga sama banyak, yakni Tarekat
‘Aidarusiyyah dan Tarekat ‘Aththahisiyyah.
4.1. Perkembangan Thoriqoh Alawiyah
Tonggak perkembangan Tarekat Alawiyyah dimulai pada masa Muhammad bin Ali, atau yang akrab dikenal dengan
panggilan Al-Faqih al-Muqaddam (seorang ahli agama yang terpandang) pada abad ke-6 dan ke-7 H. Pada masanya,
kota Hadhramaut kemudian lebih dikenal dan mengalami puncak kemasyhurannya. Muhammad bin Ali adalah seorang
ulama besar yang memiliki kelebihan pengetahuan bidang agama secara mumpuni, di antaranya soal fiqih dan tasawuf.
Di samping itu, konon ia pun memiliki pengalaman spiritual tinggi hingga ke Maqam al-Quthbiyyah (puncak maqam kaum
sufi) maupun khirqah shufiyyah (legalitas kesufian).
Mengenai keadaan spiritual Muhammad bin Ali ini, al-Khatib pernah menggambarkan sebagai berikut: (“Pada
suatu hari, Al-Faqih al-Muqaddam tenggelam dalam lautan Asma, Sifat dan Dzat Yang Suci”). Pada hikayat ke-
24, para syekh meriwayatkan bahwa syekh syuyukh kita, Al-Faqih al-Muqaddam, pada akhirnya hidupnya tidak makan
dan tidak minum. Semua yang ada di hadapannya sirna dan yang ada hanya Allah. Dalam keadaan fana’ seperti
ini datang Nabi Khidir dan lainnya mengatakan kepadanya: “Segala sesuatu yang mempunyai nafs (ruh) akan
merasakan mati .” Dia mengatakan, “Aku tidak mempunyai nafs.” Dikatakan lagi, “Semua
yang berada di atasnya (dunia) akan musnah.” Dia menjawab, “Aku tidak berada di atasnya.” Dia
mengatakan lagi, “Segala sesuatu akan hancur kecuali wajah-Nya (Dia).” Dia menjawab, “Aku
bagian dari cahaya wajah-Nya.” Setelah keadaan fana’-nya berlangsung lama, lalu para putranya
memintanya untuk makan walaupun sesuap. Menjelang akhir hayatnya mereka memaksakan untuk memasukkan
makanan ke dalam perutnya. Dan setelah makanan tersebut masuk mereka mendengar suara (hati). “Kalian telah
bosan kepadanya, sedang kami menerimanya. Seandainya kalian biarkan dia tidak makan, maka dia akan tetap
bersama kalian.”
http://www.nurulmusthofa.org - NURUL MUSTHOFA -- AL-Habib Hasan Bin Ja'far As-segaf Powered by Mambo Generated: 16 January, 2008, 16:56
Setelah wafatnya Muhammad bin Ali, perjalanan Tarekat Alawiyyah lalu dikembangkan oleh para syekh. Di antaranya
ada empat syekh yang cukup terkenal, yaitu Syekh Abd al-Rahman al-Saqqaf (739), Syekh Umar al-Muhdhar bin Abd al-
Rahman al-Saqqaf (833 H), Syekh Abdullah al-‘Aidarus bin Abu Bakar bin Abd al-Rahman al-Saqqaf (880 H), dan
Syekh Abu Bakar al-Sakran (821 H).
Selama masa para syekh ini, dalam sejarah Ba Alawi, di kemudian hari ternyata telah banyak mewarnai terhadap
perkembangan tarekat itu sendiri. Dan secara umum, hal ini bisa dilihat dari ciri-ciri melalui para tokoh maupun berbagai
ajarannya dari masa para imam hingga masa syekh di Hadhramaut.
Pertama, adanya suatu tradisi pemikiran yang berlangsung dengan tetap mempertahankan beberapa ajaran para salaf
mereka dari kalangan tokoh Alawi, seperti Al-Quthbaniyyah, dan sebutan Imam Ali sebagai Al-Washiy, atau keterikatan
daur sejarah Alawi dan Ba Alawi. Termasuk masalah wasiat dari Rasulullah untuk Imam Ali sebagai pengganti Nabi
Muhammad SAW.
Kedua, adanya sikap elastis terhadap pemikiran yang berkembang yang mempermudah kelompok ini untuk membaur
dengan masyarakatnya, serta mendapatkan status sosial yang terhormat hingga mudah mempengaruhi warna pemikiran
masyarakat.
Ketiga, berkembangnya tradisi para sufi kalangan khawwash (elite), seperti al-jam’u, al-farq, al-fana’
bahkan al-wahdah, sebagaimana yang dialami oleh Muhammad bin Ali (Al-Faqih al-Muqaddam) dan Syekh Abd al-
Rahman al-Saqqaf.
Keempat, dalam Tarekat Alawiyyah, berkembang suatu usaha pembaharuan dalam mengembalikan tradisi tarekat
sebagai Thariqah (suatu madzhab kesufian yang dilakukan oleh seorang tokoh sufi) hingga mampu menghilangkan
formalitas yang kaku dalam tradisi tokoh para sufi.
Kelima, bila pada para tokoh sufi, seperti Hasan al-Bashri dengan zuhd-nya, Rabi’ah al-Adawiyah dengan
mahabbah dan al-isyq al-Ilahi-nya, Abu Yazid al-Busthami dengan fana’-nya, al-Hallaj dengan wahdah al-wujudnya,
maka para tokoh Tarekat Alawiyyah, selain memiliki kelebihan-kelebihan itu, juga dikenal dengan al-khumul dan alfaqru-
nya. Al-khumul berarti membebaskan seseorang dari sikap riya’ dan ‘ujub, yang juga merupakan
bagian dari zuhud. Adapun al-faqru adalah suatu sikap yang secara vertikal penempatan diriseseorang sebagai hamba
di hadapan Khaliq (Allah) sebagai zat yang Ghani (Maha Kaya) dan makhluk sebagai hamba-hamba yang fuqara, yang
selalu membutuhkan nikmat-Nya. Secara horizontal, sikap tersebut dipahami dalam pengertian komunal bahwa rahmat
Tuhan akan diberikan bila seseorang mempunyai kepedulian terhadap kaum fakir miskin.
Penghayatan ajaran tauhid seperti ini menjadukan kehidupan mereka tidak bisa dilepaskan dari kaum kelas bawah
maupun kaum tertindas (mustadl’afin). Syekh Abd al-Rahman al-Saqqaf misalnya, selama itu dikenal dengan
kaum fuqara-nya, sedangkan istri Muhammad bin Ali terkenal dengan dengan ummul fuqara-nya.
4.2. Imam Haddad
Nama lengkapnya Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad atau Syekh Abdullah al-Haddad. Dalam sejarah Tarekat
Alawiyyah, nama Imam Haddad ini tidak bisa dipisahkan, karena dialah yang banyak memberikan pemikiran baru
tentang pengembangan ajaran tarekat ini di masa-masa mendatang. Ia lahir di Tarim, Hadhramaut pada 5 Safar 1044 H.
Ayahnya, Sayyid Alwi bin Muhammad al-Haddad, dikenal sebagai seorang yang saleh. Al-Haddad sendiri lahir dan besar
di kota Tarim dan lebih banyak diasuh oleh ibunya, Syarifah Salma, seorang ahli ma’rifah dan wilayah (kewalian).
Peranan Imam Haddad dalam mempopulerkan Tarekat Alawiyyah ke seluruh penjuru dunia memang tidak kecil,
sehingga kelak tarekat ini dikenal juga dengan nama Tarekat Haddadiyyah. Peran al-Haddad itu misalnya, ia di
antaranya telah memberikan dasar-dasar pengertian Tarekat Alawiyyah. Ia mengatakan, bahwa Tarekat Alawiyyah
adalah Thariqah Ashhab al-Yamin, atau tarekatnya orang-orang yang menghabiskan waktunya untuk ingat dan selalu
taat pada Allah dan menjaganya dengan hal-hal baik yang bersifat ukhrawi. Dalam hal suluk, al-Haddad membaginya ke
dalam dua bagian.
Pertama, kelompok khashshah (khusus), yaitu bagi mereka yang sudah sampai pada tingkat muhajadah,
mengosongkan diri baik lahir maupun batin dari selain Allah di samping membersihkan diri dari segala perangai tak
terpuji hingga sekecil-kecilnya dan menghiasi diri dengan perbuatan-perbuatan terpuji. Kedua, kelompok ‘ammah
(umum), yakni mereka yang baru memulai perjalanannya dengan mengamalkan serangkaian perintah-perintah as-
Sunnah. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa Tarekat Alawiyyah adalah tarekat ‘ammah, atau sebagai
jembatan awal menuju tarekat khashshah.
Karena itu, semua ajaran salaf Ba Alawi menekankan adanya hubungan seorang syekh (musryid), perhatian seksama
dengan ajarannya, dan membina batin dengan ibadah. Amal shaleh dalam ajaran tarekat ini juga sangat ditekankan, dan
untuk itu diperlukan suatu tarekat yang ajarannya mudah dipahami oleh masyarakat awam.
Imam Haddad juga mengajarkan bahwa hidup itu adalah safar (sebuah perjalanan menuju Tuhan). Safar adalah siyahah
ruhaniyyah (perjalanan rekreatif yang bersifat ruhani), perjalanan yang dilakukan untuk melawan hawa nafsu dan
sebagai media pendidikan moral. Oleh karena itu, di dalam safar ini, para musafir setidaknya membutuhkan empat hal.
Pertama, ilmu yang akan membantu untuk membuat strategi, kedua, sikap wara’ yang dapat mencegahnya dari
perbuatan haram. Ketiga, semangat yang menopangnya. Keempat moralitas yang baik yang menjaganya.
4.3. Kesimpulan
http://www.nurulmusthofa.org - NURUL MUSTHOFA -- AL-Habib Hasan Bin Ja'far As-segaf Powered by Mambo Generated: 16 January, 2008, 16:56
Tarekat yang dianut oleh Alfagih Al Muqaddam dan pengikutnya adalah "Atthariqah Al-Alawiyah" yang dasarnya adalah
mengikuti apa yang tersurat di dalam Alkitab (Alqur'an) dan Assunnah (ajaran Nabi), meneladani tokoh-tokoh Islam
kurun per¬tama (para sahabat dan tabi'in). Itulah yang di¬nyatakan di dalam kitab-kitab mereka, ceramah dan nasihat
agama, dan surat menyurat mereka antara yang satu dengan yang lain, serta dikuatkan pula oleh perilaku dan tindak
tanduk Salaf Al¬ alawiyin.
Hal ini diungkapkan oleh salah seorang tokoh Alawiyin yaitu Habib Abdullah Al Haddad dalam sebuah bait syair sebagai
berikut :
Berpegang teguhlah engkau dengan Kitab Allah,ikutilah Sunnah nabi Serta teladanilah para Salaf terdahulu Semoga
Allah memberi engkau petunjuk-Nya
Demikian pula dinyatakan oleh Al Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi :
Demikian inilah amalan-amalan murni dari segala campuran ditambah ilmu dan keluhuran akhlak serta wirid-wirid yang
cukup banyak
Dengan demikian jelaslah, golongan Alawiyin pengikut tarekat tasawuf, tetapi tasawuf mereka tidak menghalangi untuk
melakukan tugas-tugas kehidupan, baik yang bersifat kemasyarakatan (sosial), keluarga maupun pribadi. Dalam segi
tasawuf ini, Alawiyin menyerupai sahabat Nabi dan para tabi'in yang terkenal dengan kesufiannya namun tidak terhalang
untuk berjihad menyebar¬luaskan ilmu dan dakwah.
Kaum Alawiyin adalah penganut madzhab tasawuf yang berintikan sikap zuhud. Namun zuhud tidak menghalangi
mereka untuk mengum¬pulkan harta yang amat besar jumlahnya asal di¬peroleh melalui jalan yang wajar dan halal, yang
kemudian disalurkan untuk kepentingan umum, menjamu tamu, mendirikan masjid dengan men¬cadangkan wakaf untuk
pembiayaannya, menggali sumur untuk menyediakan air bersih yang sangat diperlukan, membuka dapur-dapur umur,
dan mendirikan pondok pesantren untuk menyebar¬luaskan ilmu dan dakwah ke jalan Allah. Meng-usahakan
perdamaian dan memperbaiki hubungan antara golongan-golongan yang bersengketa, ber¬sedekah dan membantu
mereka yang memerlukan bantuan.
Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi penga¬nut madzhab Syafi'i, namun mereka tidak ber¬taklid kepada Syafi'i dalam
segala hal. Dalam soal-¬soal tertentu, mereka meninggalkan pendapat Syafi'i.
Kaum Alawiyin adalah penganut Al-Asy'ari (dalam soal-soal Tauhid), namun mereka juga meninggalkan faham Al-Asy'ari
dalam beberapa hal, seperti mengenai sahnya taklid dalam soal iman.
Meskipun tokoh-tokoh Alawiyin sangat menga¬gumi karya-karya Al-Ghazali serta falsafahnya dalam bidang akhlak dan
tasawuf, namun mereka tidak mengikutinya secara bertaklid buta, melainkan memperhatikan kekurangan dan
kelemahan AlGhazaIi, sehingga ada diantara tokoh mereka yang mengatakan. “Di dalam kitab Ihya' ada
beberapa pernyataan seandainya dapat dihapus dengan air mata kami, kami akan melakukannya"
Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi, sebagi¬an mereka menyukai nyanyi dan lagu yang sehat tanpa disertai tindakan
yang melangar akhlak, apalagi minum-minuman yang memabukan, seperti yang dilakukan oleh beberapa penganut
tarekat lainnya.
Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi, namun mereka tidak berkhalwat atau melakukan latihan¬ latihan rohani secara
berlebihan dan melampaui batas. Kalaupun ada, sangatlah jarang, dan mereka melakukannya dengan cara yang tidak
merusak, baik fisik maupun mental, serta bertujuan semata mata mendidik jiwa, menghilangkan sifat-sifat kelemahan
dan kekotoran rohani, sebagai usaha untuk menyucikan diri dari kungkungan nafsu angkara murka dan syahwat.
Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi, namun tasawuf mereka tidak melarang tokoh-tokoh besar dan ulama mereka
menduduki jabatan-jabatan penting: sebagai hakim, pemberi fatwa (Mufti), guru-guru besar, atau usahawan dalam
bidang pertanian, perdagangan atau pertukangan, baik sebagai pimpinan maupun pelaksana lapangan.
Alfagih Al-Muqaddam - misalnya - bapak Ala¬wiyin dalam tasawuf, mungkin kita tidak pernah mengira bahwa Alfagih
bertindak mengurusi per¬kebunan dan sawah ladangnya sendiri, mengatur rumah tangga dan keluarga, bahkan kadangkadang
berbelanja sendiri ke pasar. Kita mungkin tidak pernah rnembayangkan bahwa perkebunan Alfagih ini terdiri dari
ribuan batang pohon kurma dan buah kurma hasil perkebunan itu - seperti di riwayatkan di dalam Silsilah Al
A’idarusiyah - adalah sekitar 360 guci (zier). setiap guci berisi sekitar 1800 rathl (kati).
Penulis kitab Almasyra' Arrawiy bercerita tentang kekayaan Alhabib Abdullah bin Alawi. Putera Al-faqih Al-Muqaddam
(wafat 731 H.) Abdullah bin Alawi ini telah mewakafkan untuk masjid Bani Alawi di Tarim seharga 90.000 dinar. Ia
mempunyai daftar tetap yang didalamnya tercatat nama orang-orang yang memerlukan bantuan, selain hadiah-hadiah
yang diberikan kepada para penyair. Kendati demikian, ditinjau dari segi tasawuf dan ibadahnya, hampir tidak ada orang
yang dapat menandinginya. Sedang dari ilmu, telah dicatat bahwa dia pernah berguru kepada seribu orang Syekh (guru)
terdiri dari ulama-ulama Yarnan, Hadramaut, Hijaz, Irak dan Maghrib(Afrika Utara).
Demikian pula dengan Habib Assagaf, betapa¬pun banyak kegiatan dan kesibukannya dalam rnengerjakan wirid, zikir
dan rnengajar, namun memiliki perkebunan dan sawah ladang yang luas sekali serta meminta laporan tentang biayabiaya
yang dikeluarkan oleh, para pekerjanya, pada waktu antara maghrib dan isya', seperti diriwayatkan oleh Alkhathib,
penulis kitab Aljauhar. Pohon¬pohon kurmanya amatlah banyak, tidak sedikit di antara pohon-pohon itu yang ditanam
dengan tangannya sendiri, sambil membaca surat YaSin pada setiap pohon yang ditanamnya.
Habib Al Muhdhar putra Assaqaf, adalah se¬orang ulama besar yang diyakini sebagai seorang wali Allah, namun
tergolong seorang yang cukup kaya, yang kekayaannya di antaranya adalah kapal-¬kapal, tanah-tanah pertanian, kebun
kurma dan lain-lain, seperti diterangkan semua itu di dalam surat wasiatnya.
Demikian pula dengan Imam Abubakar Al-A'dani, putra Habib Al-A'idarus (yang makamnya cukup terkenal di kota Aden)
tergolong seorang hartawan di zamannya.Setiap hari memotong 30 ekor kambing untuk menjamu para tamu dalam
berbuka puasa seperti dicatat oleh penulis biografi¬nya. Al-A'dani telah melunasi hutang ayahnya setelah wafat
sebanyak 30 ribu dinar. Al-A'dani wafat 914 H.
http://www.nurulmusthofa.org - NURUL MUSTHOFA -- AL-Habib Hasan Bin Ja'far As-segaf Powered by Mambo Generated: 16 January, 2008, 16:56
Demikian pula halnya dengan keturunan Abdullah bin Syekh Al-A'idarus ( keponakan Al¬A'dani), yang banyak
berhubungan dengan raja-¬raja India. Kita akan kagum mempelajari riwayat hidup mereka, sebab di samping hasil karya
ilmiah yang mereka cipta dan perbaikan sosial yang mereka lakukan serta ketekunan mereka di bidang ilmu dan ibadah,
tokoh-tokoh ini mampu me-miliki kekayaan yang demikian besar, menandingi para raja dan pangeran. Sedang sebagian
besar kekayaan itu, dinafkahkan untuk perbaikan sosial dan kepentingan umum.
Jadi, faharn tasawuf yang dianut oleh golongan Alawiyin adalah ajaran tasawuf yang wajar dan sehat, tidak membawa
pengikutnya menjurus kepada fanatisme dan jumud (kebekuan)atau menjurus kepada ekstrimisme dan ingkar. Ajaran
tasawuf mereka merupakan sikap tengah yang memelihara keseimbangan dalam semua segi.
Perlu kiranya dicatat disini, bahwa apa yang dihubungkan kepada tokoh-tokoh Alawiyin berupa latihan amat banyak
secara umum tidak mampu dilakukan manusia biasa serta bertentangan dengan naluri yang wajar, baik itu berupa tidak
tidur siang malam untuk beberapa tahun lamanya berhenti makan dan minum berpuluh-puluh hari secara terus menerus,
maupun mengkhatamkan pembacaan Alqur'an beberapa kali di waktu siang dan beberapa kali di waktu malam. Hal - hal
semacarn itu hanyalah merupakan tindakan-tindakan khusus yang hanya mampu dilakukan oleh orang-orang tertentu
saja yang memang diberi kemauan dan kemampuan oleh Allah, di samping adanya kesediaan batin untuk
melakukannya. Hal-hal semacarn ini memang tidak dapat dilakukan oleh selain mereka sebab sifatnya yang khusus dan
merupakan pengecualian dan yang umum. Bahkan lingkungan mereka sendiri memandang hal itu sebagai sesuatu yang
aneh, sehingga apabila ada yang menceritakannya, hanyalah sekadar menyatakan rasa kagum terhadap sesuatu yang
luar biasa¬. Akan tetapi hal-hal semacarn itu boleh saja digolongkan sebagai "karamah" yang telah diuraikan oleh ulama
(tasawuf) secara jelas. Perlu pula dicatat di sini, bahwa pernyataan¬-pernyataan yang kadang-kadang diucapkan oleh
beberapa tokoh Alawiyin tertentu - seperti di¬catat oleh sebagian penulis sejarah terdahulu yang pada lahirnya
bertentangan dengan prinsip-¬prinsip syara', dan yang terkenal dengan sebutan syathahat adalah bukan karena mereka
telah meyakini faham "wahdatul wujud" (panteisme), bukan pula untuk menyatakan kesombongan dan membanggakan
diri, seperti dituduhkan oleh sementara orang. Sebab kebersihan pribadi dan kejujuran tokoh-tokoh itu cukup dikenal
dalam sejarah. Pada hakikatnya, pernyataan-pernyataan itu dilontarkan pada saat mereka dalam keadaan ganjil dan luar
biasa, di mana mereka berada dalam suasana tak sadar (keadaan fana), sehingga apa yang diucapkan itu dapatlah
dimaafkan, dan tidak dapat dicatat sebagai pelanggaran yang mengakibat¬kan dosa, apalagi kufur, Betapa pun juga,
tidaklah sepatutnya hal-hal seperti itu disiarkan, mengingat mereka sendiri pun tidak rnenyukainya. Pada tahap
perkembangan ini, lahirlah jabatan " Munshib". Jabatan itu sendiri dikenal sebagai "Manshabah". Sebagian besar
Munshib Alawiyin muncul pada abad kesebelas dan abad kedua¬belas H. Seperti Munshib Al-Attas, Munshib Al
‘Aidarus, Munshib Al-Syekh Abubakar bin Salim, Munshib Alhabsyi, Munshib Al Haddad, Al-Jufri, Al-Alawi bin Ali,
Al-Syathiri, Al-Abu Numay dan lain-lain.
Tugas yang dilakukan oleh lembaga ini adalah tugas yang mulia dan bermanfaat, baik bagi agama maupun bagi sesama
manusia. Pemangku jabatan ini - yang menerimanya secara turun temurun - selalu berusaha mendamaikan suku-suku
yang ber¬sengketa - khususnya sengketa antara suku-suku yang bersenjaia - menjamu tamu yang datang berkunjung,
menolong orang-orang lemah, memberi petunjuk kepada mereka yang memerlu¬kan petunjuk dan bantuan bagi yang
memerlukan bantuan.
Lembaga ini senantiasa memainkan perannya hingga kini, sesuai dengan tujuan “Man¬shabah" yang didirikan
untuknya. Para Munshib tidak jarang mengorbankan harta dan kepentingan pribadi demi tugas dan jabatannya. Hanya
saja generasi yang kernudian biasanya makin lemah bila dibanding dengan pendahulunya, baik di bidang keahlian,
kemampuan, maupun kewibawaan, se¬hingga secara berangsur, lembaga ini makin lama makin berkurang peranannya.
Hal ini terutarna disebabkan kurangnya perhatian terhadap pen¬didikan, baik ilrnu maupun keahlian, sesuai dangan, apa
yang dahulu dikuasai oleh bapak-bapak mereka.

Tidak ada komentar: