2008/03/06

Menyelam ke Samudera Jiwa dan Ruh

Menarik dalam kemasan dan penyajian logika yang di bangun penulis. Itulah kesan pertama saat membaca buku ini. Permisalan yang logis dari struktur bangunan susunan manusia. Kajian Jiwa dan Ruh yang merupakan bagian terdekat manusia. Namun juga menyajikan misteri paling dalam dan tak terungkap. Proses penggalian terhadap keduanya seumur peradaban manusia itu sendiri. Zaman peradaban Yunani telah memulai ini. Bangunan dan definisi telah diungkapkan para filosof kala itu. Namun bagaikan sumber mata air tak kering untuk dikaji dan di bahas sampai saat ini. Bahkan saya sangat yakin akan terus sampai peradaban manusia berakhir (kiamat).
Para filosof dahulu telah memulai untuk mengetahui rahasia pribadi manusia ini. Penggalian esoteris manusia ini sama menggelitiknya dengan mengetahui eksoterisme pengetahuan di luar manusia. Namun yang membedakan antara keduanya terletak pada kesan misteri yang dikandungnya. Misteri yang ghalib dipahami adalah sesuatu yang jauh dari jangkauan. Ada jarak tertentu, sehingga menyimpan tanda tanya untuk segera dipecahkan. Apabila sudah jelas diketahui misteri yang menyelimutinya, maka seolah kesan jauh tersebut akan hilang. Kesan dekat dan terbiasa dengan sendirinya muncul. Namun misteri yang menyelimuti manusia memilki karakteristik yang aneh sekaligus memicu daya tarik. Bawaan manusia berupa Jiwa dan Ruh. Logika filsafat dimulai dengan proses mempertanyakan misteri yang di kandung manusia. Logika dasar pertanyaan 5 W + H menjadi dasar bangunan filsafat dunia Barat sampai kini. Penggalian esoteris manusia di mulai dengan pertanyaan “Siapakah dirimu?” Pertanyaan gampang secara tekstual namun memiliki jalur panjang jawaban yang tak ada habisnya. Dan akan terus digali sampai kapanpun karena tidak (belum?) dikeketemukan jawaban yang memuaskan. Ya, “Siapakah Anda?”
Penulis buku ini, Agus Mustofa memulai dengan penggalian definisi. Penulis memberikan gambaran awal bahwa dua kata; jiwa dan ruh memiliki definisi berbeda. Ia ingin menolak definisi yang menyamakan bahwa keduanya adalah sama dalam pengertian dan intensitasnya (hal.5). Seperti yang diungkapkan Ibnu Qoyyin Al Jauziyah, bahwa Ruh adalah bentuk lain dari jiwa. Demikian pula sebaliknya. Penulis mendefinisikan manusia terbagi atas tiga unsur fisik, jiwa dan ruh. Unsur fisik adalah bangunan struktur biologis manusia. Jiwa adalah suatu bentuk kesadaran manusia dan berbarengan adanya dengan proses terbentuknya biologis manusia. Ia mengambil contoh kedua bentuk biologis dan jiwa bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Agus Mustofa dengan baik mendefinisikan perbedaan karakteristik antara jiwa dan ruh dengan tiga macam. Substansi, fungsi dan sifatnya. Perbedaan segi substansi keduanya adalah jiwa merupakan citra kesadaran sehingga bisa berubah-ubah, naik turun dan berkembang terus sesuai input yang masuk. Sebaliknya ruh terbebas dari kondisi yang dialami jiwa. Dari segi fungsi adalah bentuk tanggung jawab jiwa atas segala aktifitas dan eksistensi manusia. Jiwalah yang akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipikirkan, dikerjakan manusia di hadapan Allah kelak. Lagi-lagi ruh terbebas dari tanggung jawab ini. Sifat keduanya bersebarangan, jiwa dapat merasakan senang, sedih, bahagia, sakit dan lain-lain. Ruh bagi penulis -berdasarkan sumber yang diambil dari ayat-ayat Alquran- tidak merasakan itu semua. Ruh adalah gambaran sifat positif dari Allah dan berseberangan dengan sifat negatif yang berasal dari setan.
Coba bandingkan pembagian manusia menjadi tiga unsur ini dengan khasanah sufi klasik. Sebagai awal Penulis sudah menjelaskan bahwa buku-buku yang ia tulis adalah diskusi tasawwuf modern. Kajian yang berkeinginan menggali dunia tasawwuf dengan alat bantu sains dan ilmu pengetahuan mutakhir. Sebagian khazanah sufi membagi unsur menjadi empat bagian : fisik/raga, hati nurani/qolbu, ruh dan sirr/rasa. Keduanya kalau ditilik hampir merupakan persamaan. Hanya unsur hati nurani/qolbu yang tidak (belum?) dimasukkan penulis. Unsur Rasa yang belum tercantum dalam katagori penulis dapat kita jumpai dalam sifat jiwa. Yaitu dapat merasakan sedih, senang, bahagia, tentram, dan lain sebagainya (hal.26). Namun tetap akan menggelitik pikiran kita, karena memiliki cakupan wilayah yang luasnya berbeda. Rasa yang diungkapkan oleh penulis adalah sifat yang muncul dari kondisi perasaan. Sedangkan sirr/rasa yang dimaksud tasawwuf klasik adalah lebih luas dari perasaan. Sirr/rasa adalah instrumen yang memunculkan sistem rasa baik untuk unsur lahir dan batin. Seperti rasa asam, manis, pahit, getir yang berasala dari makanan. Rasa-rasa di atas sangat mustahil di bahasakan, hanya bisa diketahui setelah merasakan. Dan rasa batin seperti perasaan lega, bahagia, sedih, tentram dan lain-lain seperti yang dimaksud penulis.
Dunia tasawwuf yang saat ini mulai geliatnya lewat munculnya perkumpulan pengajian, halaqoh, majlis dzikir dan tarekat-tarekat yang memfokuskan pada perbaikan qolbu/hati. Nah pertanyaan kemudian yang muncul, dimanakah penulis menempatkan hati/qolbu dan rasa? Pembahasan panjang penulis tidak spesifik membahas hati/qolbu dan haya sekilas ulasan rasa. Itupun yang berkaitan dengan perasaan. Saya pribadi belum menemukan penyamaan jiwa dengan hati/qolbu dari buku ini.
Penulis sukses best seller ini telah menulis empat buku kajian diskusi tasawwuf modern. Kesemuanya memiliki titik tolak pada sarana untuk menerjemahkkan fenomena tasawwuf dengan bantuan sains dan ilmu pengetahuan mutakhir. Dengan bahasa yang gamblang penulis membuat kesimpulan contoh bagi ketiga unsur susunan manusia. Komputer dan robot adalah hasil karya teknologi ilmu pengetahuan mutakhir yang diambil penulis sebagai bahan padanan. Maka untuk memahami logika dan permisalan yang diketengahkan penulis, setidaknya pembaca diharuskan memiliki pengetahuan dasar komputer/robot. Sebab apabila tidak ada pengetahuan ini, saya rasa ada kesan yang tidak tersampaikan. Penulis menggambarkan bentuk fisik/biologis manusia adalah hardware/perangkat keras penyusun komputer/robot. Seperti motherboard, memori, prosessor, vaga, monitor dan lainnya. Susunan berbagai alat yang dihubungkan dengan sumber listrik sehingga membentuk satu sistem yang bernama komputer. Inilah penggambaran biologis. Organ-organ biologis ini hanya sebatas ada, belum mampu berfungsi. Perlu sesuatu untuk membuat semua alat yang telah tersusun tersebut dapat bekerja. Maka diperlukan software/perangkat lunak yang mampu memprogram, mengarahkan dan membuat sistem hardware bekerja. Program yang berfungsisebagai pengatur semua yang berkaitan dengan komputer. Dasar dari semuanya. Itulah ruh yang dimisalkan penulis dengan sistem operasi dasar (operating system/OS). Kita mengenal contoh OS seperti Windows dan Linux. Seperti itulah sederhanyanya fungsi ruh bagi tubuh/raga seperti OS bagi komputer. Tentunya permisalan ini belum mencukupi untuk menggambarkan ruh, karena begitu besarnya misteri ruh itu sendiri. Seperti yang sudah difirmankan Allah dalam QS. Al Isyro’ (17) : 85.
Dan mereka menanyakan kepadamu tentang Ruh. Katakanlah :”Ruh itu termasuk urusan Tuhanku. Dan tidaklah kamu kamu sekalian diberi pengetahuan tentang itu melainkan sedikit”.
Nah saat semua hard ware /perangkat keras komputer (biologis manusia) dapat bekerja diperlukan program lanjutan. Program/software ini berfungsi dan bekerja sesuai kebutuhan. Misalkan dalam OS Windows kita mengenal program office word untuk menjalankan masalah tulis menulis. Presentasi dengan office power point, gambar teknik dengan auto CAD atau Solid Edge dan lain-lain. Paket program sesuai kebutuhan ini yang menjadi penggambaran penulis untuk Jiwa. Inilah jiwa yang kondisinya dapat berubah-ubah sesuai kebutuhan. Dapat bertambah apabila ada tambahan input informasi, pengalaman hidup dan pengalaman eksperimental. Jiwa akan dapat memacu ke arah tambah bijak, dewasa. Jiwa terkumpul berbarengan dengan kehidupan manusia.
Titik tolak semua perilaku jiwa itu bersumber pada akal dan kesadaran. Pada akhirnya penulis menggiring kita untuk menemukan kesimpulan bahwa otak adalah representasi dari jiwa. Semua informasi bersumber dan diolah dari sana. Jadi jiwa berada di balik fisik otak manusia. Di sanalah segala input diolah dan direfleksikan dalam perilaku manusia. Nafs/diri yang mengandung berbagai macam karakter (nafs amarah, lawwamah, sufiah/mulhimah, muthmainnah, rodliyah, mardliyah dan kamilah) dikontrol oleh jiwa yang berada dibalik otak. Maka dimanakah ruh bekerja dan berada? Penulis dengan baik menjabarkan seperti peran operating system, maka ruh adalah pembawa sifat-sifat Tuhan dan berada pada keseluruhan manusia. Sampai pada unsur terkecil manusi, DNA. Posisi jiwa dengan ruh seperti software/program aplikasi yang harus sesuai dengan OS, maka penulis menggambarkan jiwa akan bekerja jika difasilitasi oleh ruh.
Sayangnya seperti ulasan saya di atas, ada satu yang terlewatkan penulis. Yaitu hati/qolbu. Penjelasan tentang hati/qolbu tidak (belum?) mendapatkan tempat. Sebab jika hati/qolbu disamakan dengan jiwa kurang tepat. Merunut analisis penulis dibalik otaklah jiwa berada. Padahal mafhum umum kalau hati (dalam pengertian fisik dan batin) secara anatomis digambarkan berada di dada. Walaupun memiliki fungsi/tujuan hampir sama. Seperti hadits nabi tentang pentingnya hati (segumpal daging) sebagai pusat/raja karena apabila baik maka baiklah seluruh jasadnya. Sebaliknya apabila segumpal daging itu rusak maka rusaklah keseluruhan jasad manusia itu. Seperti hadits Qudsi yang diambil Ibnu Athailah dalam Kitabnya Al Hikam : “Bumi dan langit-Ku tidak bisa memuat-Ku, dan yang bisa memuat-Ku adalah qolbu hamba-Ku yang beriman.” Apabila Ruh dalam pengertian penulis di samakan dengan pengertian hati di sini juga kurang sesuai. Ruh sebagai keseluruhan sistem menurut penulis, sedangkan hati di sini berfungsi sebagai pusat kendali.
Seperti ulasan majalah Cahaya Sufi dalam menggambarkan skema Amaliah Dienul Islam, kita dapati susunan manusia. Pemilahan Amaliah menjadi tiga : Islam, Iman, Ihsan. Ketiganya membawa muara pada kajian ilmu yang fokus padanya. Islam dapat digali dengan ilmu Fiqih, ilmu Tauhid/kalam dapat menjelaskan fenomena keimanan dan ilmu tasawwuf untuk menggali nilai Ihsan. Ujung dari ilmu-ilmu tersebut adalah makanan/konsumsi organ penyusun manusia. Fiqih diperuntukkan bagi kecerdasan akal dan fikiran (1). Qolbu/hati nurani untuk menjembatani tauhid (2). Kecerdasan Ruh (3) dan Sirr (4) dapat digali dengan ilmu tasawwuf. Pembagian dan skema yang jelas arah tujuannya. Seperti yang digambarkan/disimbolkan kubah bangunan masjid yang bertingkat tiga. Tingkat pertama adalah islam, di atasnya untuk menggambarkan iman dan puncak ketiga yang semakin kecil (mengandung maksud semakin sedikit jumlah) menggambarkan tingkat ihsan.
Terlepas dari itu semu, pendeskripsian penulis dengan membuat permisalan hubungan Raga, Jiwa dan Ruh seperti dalam susunan komputer membawa suasana baru. Apalagi ditambahi dengan pengetahuan mutakhir biologi tentang anatomi tubuh sampai susunan terkecil. Membuat pembaca mudah mencerna dan membayangkan ketiganya. Pemahaman sulit yang seringkali dihadapi umat islam saat berhadapan dengan nilai-nilai tasawwuf dapat terbantu. Tentunya diperlukan pengetahuan dasar biologi anatomi tubuh dan dasar komputer. Selamat menikmati dan menjelajah pada diri !!!

Tidak ada komentar: